Dua Dunia Yos: Menemukan Kenyataan Lewat Imajinasi

Ruangan berlantai dua itu tidak terlalu luas. Ukurannya mungkin hanya berkisar 8x7 meter. Di lantai dua rumah toko yang berada di Jalan Cik Di Tiro No.26 tersebut, puluhan lukisan tangan perupa Yosrizal dipajang. Warna cokelat pelitur mendominasi ruangan yang diberi nama Galeri Lindi. Yosrizal sedang mengadakan pameran tunggal atau Solo Exhibition (10-24/12) lalu.

Alumnus Jurusan Seni Rupa IKIP Medan ini tidak bisa dibilang baru di dunia seni. Sejak tahun 1992 ia sudah akrab dengan kanvas dan kuas. Berkali-kali pula ia telah mengadakan pameran tunggal ataupun pameran kelompok di Medan ataupun di kota-kota lain di luar Medan. Seperti Yogyakarta, Jakarta, Riau, Jambi, dan Lampung.

Kali ini, lukisan di atur dalam beberapa sekat ruangan memanfaatkan setiap ruang yang ada. Dinding di atas tangga masuk, teras lantai dua, semuanya diatur menjadi ruangan pameran yang dikelompokkan berdasarkan citra lukisannya. Entah apa namanya tetapi ada kemiripan dalam setiap kelompok lukisan. Jiwa yang menyatu pada masing-masing kelompok lukisan.

Tidak mudah memahami karya-karya Yosrizal. Ada sengkarut makna yang harus kita pahami. Memadukan pengalaman dan perbendaharaan seni dengan wawasan dunia si penikmat. Itu cara yang perlu kita lakukan untuk memahami lukisan Yos.

Lihat saja contoh lukisannya yang berjudul Dokter tolong aku…! Ada kengerian yang dikandung dalam goresan garis dan perpaduan warna Yos. Subjek bukanlah objek natural walaupun masih bisa ditebak objek seperti apa yang ia maksud. Bentuk wajah terlihat jelas. Setiap teksturnya mewujud kepada sosok yang mewakili “hitam”nya pesan yang ingin disampaikan. Bentuk-bentuk perlawanan dan ketidaksetujuan terhadap realitas kekinian manusia.

“Manusia sejak lahir hidup dalam norma-norma yang mereka ciptakan sendiri. Coba seandainya sejak kecil seseorang tidak usah diajari menggunting rambut, memotong kuku, atau mandi. Mungkin tampilannya akan lebih menyeramkan dan gelap dibanding lukisan-lukisan saya,” kata Yos.

Warna-warna gelap, putih, merah marun, merah menyala mewakili kemarahannya. “Bukan kemarahan,” bantah Yos. Tapi ini adalah sebuah persoalan pribadi. Kenyataan ideal yang ia mimpikan ternyata adanya di sebuah dunia tak kasat mata bernama imajinasi. Ketimpangan realitas antara dunia real dengan imajinasinya ia tuangkan lewat kertas dan cat karena dunia seni adalah dunia pembentukan sikap. Inilah dua dunia Yos. Ia berusaha menemukan kenyataan lewat imajinasi.

Sebagai media lukis, Yos juga menolak terikat media konvensional. Ia tidak melulu menggunakan kanvas sebagai media lukisnya. Beberapa lukisan ia torehkan pada kertas-kertas bekas majalah. Tidak ada keterbatasan media dalam berkreasi. “Tidak ada alasan tidak melukis karena kanvas mahal,” komentar Yos. Bila melukis dan kegiatan seni lainnya adalah sebuah aktivitas spiritual maka berekspresi secara jujur dapat dilakukan di manapun. “Di tanah, di kayu, di pohon, apapun medianya, hasilnya akan tetap bagus. Rohani kita kalau mau makan kenapa harus ditahan karena keterbatasan media?” saran Yos.

Sejak mengenal seni rupa, Yos telah berangkat dari surrealisme. Sampai kinipun nuansa itu masih kental terasa. Lewat karya-karya surrealisnya ia berharap apresiasi terhadap karya seni di Medan terus berkembang. Menjadi indikator kesejahteraan budaya masyarakat Tanah Deli ini.

Mari kita dukung terus seniman Medan! Hayuukkkk….

Komentar

  1. kenapa gaya surialisme negeri ini kurang matang..dibanding dengan surialisme gaya eropa?

    BalasHapus
  2. Pak Yopi jika dihitung dengan munculnya istilah surrealisme itu sendiri yang bukan murni dari indonesia tapi adopsi dari luar, saya pikir kita belum sematang negeri lain.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer