Andai Minum Tuak Berkesan Elegan



Di daerah berpemukiman Batak, baik itu Batak Toba, Batak Karo, dan subetnis Batak lainnya, tempat bersosialisasi yang paling diminati kaum lelaki adalah lapo tuak. Lapo tuak artinya warung atau gubuk tempat minum tuak, sejenis minuman yang disadap dari pohon nira dan dicampur dengan kulit pohon raru.

Masyarakat awam menyebutnya dengan tuak. Tetapi karena lokasi pengambilannya di dalam hutan, para komunitas pencinta alam menyebutnya jungle juice. Jus segar dari dalam hutan. Rasanya sedikit manis,kelat, mengandung alkohol, dan membuat segar. He-he… walaupun seperti alkohol lainnya, efek yang ditimbulkan pada saya selalu membuat mengantuk.

Menurut keyakinan masyarakat jika dikonsumsi dengan benar, tuak dapat mencegah berbagai macam penyakit. Penyakit pinggang, batu karang, kencing batu, kanker rahim, penangkal bisa ular, dan dipercaya sangat baik bagi perempuan yang baru bersalin.

Kadar manis, kelat, dan kadar alkoholnya tergantung pada proses pembuatannya dan berapa banyak kulit raru yang dicampur. Jungle juice adalah minuman beralkohol layaknya bir. Seperti juga bir, ia identik dengan pergaulan. Biasanya masyarakat komunal kelas bawah.

Kayu raru yang menjadi campuran tuak banyak tumbuh di Pematang Siantar. Menurut kawan-kawan saya di Komunitas Sendal Jepit Medan, tuak terbaik yang pernah mereka temui mereka dapatkan di Desa Torong, tak jauh dari kaki Gunung Sinabung. Peraciknya adalah Bapak Mariot Purba. Racikannya pas. Bahkan si pembeli bisa menakar sendiri kadar kekelatan dan manisnya.

Proses pembuatan tuak dimulai dengan memilih pohon aren yang telah memiliki bakal buah berusia tiga bulan. Ciri alaminya ditandai dengan banyaknya serangga kecil seperti lalat dan lebah di sekitar bakal buah. Batang bakal buah pohon nira yang telah dipilih tersebut selanjutnya diguncang dan dipukul berulang.

Tahukah Anda, untuk mencapai bakal buah tersebut, para penyadap nira, hanya menggunakan sebatang bambu sebagai tangga. Bambu-bambu tersebut diberi dua lubang sebagai tempat meletakkan jempol kaki dan telunjuk. Cukup itu saja. Bayangkan betapa ahlinya mereka memanjat. Gerakan mereka gesit. Saya pernah menyaksikan sendiri di kampung ibu saya. Mereka berangkat dengan membawa bubungan bambu sebagai tempat nira yang telah disadap.

Alat yang digunakan untuk memukul bakal buah terbuat dari kayu keras berbentuk seperti korek api ukuran besar. Irama pukulannya asik didengar. Tak sembarangan. Di beberapa daerah, tembang pengiring pun dialunkan sambil memukul bakal buah. Seperti rayuan agar pohon tidak marah dan segera menghasilkan air nira lagi.

Uniknya lagi, para penyadap pohon nira tidak akan pernah mengganti baju “dinasnya”. Baju yang akan digunakan untuk memanjat pohon nira itu-itu saja. Ini dipercaya agar pohon nira akrab dengan pemiliknya. Ia kenal betul aromanya. Jika ini dilanggar, dikhawatirkan nira akan berhenti mengalir.

Setelah dua hari, proses lanjutannya adalah pemotongan batang bakal buah. Sebelum pemotongan proses penguncangan dan pemukulan tetap dilakukan lebih dahulu. Selanjutnya, setelah bakal buah dipotong, bekas potongannya diolesi dengna sabun batangan agar serangga kecil menjauh. Kemudian tutup dengan talas. Daun talas digunakan agar air mengalir dengan lancar.

Batang bakal buah yang telah dipotong tersebut setelah dua hari dipotong kembali setebal 3 cm. Bekas potongan yang telah menghasilkan nira diberi wadah dari bambu untuk menampung. Untuk membuat jungle juice atau tuak wadah bambu terlebih dahulu diberi kulit batang raru secukupnya. Hasilnya dapat diambil pada sore hari jika peletakan wadah pagi hari. Jika peletakan wadah sore hari, hasilnya dapat diambil pagi hari.

Minum tuak rasanya akan semakin pas bila ditemani penganan kecil yang disebut tambul. Tambul bisa dari kacang kulit, tempe goreng, ikan teri goreng, beberapa lapo tuak menyediakan tambul ekstrim seperti ular goreng. Huuuuuu…


Minum Tuak Tak Elegan?


Lapo tuak dari segi penampilan memang tidak pernah menarik. Terkesan sembarangan, kasar, dan jauh dari kebersihan. Orang-orang yang biasa nongkrong di sana dikenal sebagai parmitu akronim dari parminum tuak yang artinya peminum tuak. Mereka dicap kasar, suka mabuk-mabukan, pemalas, dan tergolong kelompok orang yang putus asa. Paling tidak demikian gambaran lapo tuak. Benarkah? Padahal pada zaman dahulu tuak adalah minuman bergengsi untuk kaum bangsawan dan para raja. Berbeda sekali dengan sekarang.

Di kota Medan lapo tuak ada banyak tersebar di sekitar kawasan Padang Bulan, Simpang Melati, dan Simalingkar. Informasi yang saya peroleh dari teman yang suka minum tuak, tuak paling bagus ada di Jalan Air Bersih.

Sekali waktu, teman-teman saya ingin berakrab ria, minum tuak rame-rame. Jadilah saya didaulat menemani salah seorang teman. Tempatnya di sekitaran Pasar V, Padang Bulan. Kata teman saya ini, tuak di tempat itu lebih bagus dibanding tempat lain. Tidak banyak campurannya.

Begitu tiba, saya merasa ditelanjangi. Mungkin aneh rasanya saya ada di sana. Cuek sajalah! Bisa jadi itu cuma pikiran saya. Di tempat itu saya merasakan aroma tuak yang entah kenapa di tempat itu terasa erat degan keputusasaan. Rekaman bayangan anak-anak muda tak ada kerjaan sambil memetik gitar muncul di pikiran saya. Orang-orang tak bermasa depan. Senandung lagu terdengar di sela cekukan mabuk sambil berjalan terhuyung-huyung. Lisoi… lisoi… lisoi…

Lalu saya tersadar, itu tidak terjadi, mereka hanya duduk sembari bercerita banyak hal. Mulai dari masalah kampus, masalah perempuan dan percintaan, sampai kepada urusan politik negara ini. Dan saya sekarang bicara tentang mereka dengan sok tahunya. Hahaha…

Ah… Seburuk itukah sudah pencitraan lapo tuak bagi masyarakat kita? Lapo tuak tak jauh-jauh dari kegagalan. Pencitraan buruk sehingga enggan rasanya menjejakkan kaki di sana. Padahal seharusnya lapo tuak dan tuak adalah simbol pergaulan dan keakraban. Ranah di mana berbagai wacana dilontarkan. Terkadang sama sekali tak penting bahkan beberapa berujung dengan adu jotos. Mungkin inilah pencap buruk itu. Bukankah bir juga awalnya seperti itu? Simbol pergaulan masyarakat banyak. Hanya saja prestisenya diangkat. Tuak juga hendaknya demikian. Entah dengan upaya apa. Saya juga kurang tahu persis.

Sebuah upaya pernah dilakukan Tuak House. Lapo tuak modern yang dibuka di mall. Sayangnya pemilihan tempatnya tidak pas. Sebuah mall yang hampir mati. Alhasil, impian menjadikan tuak sebagai simbol pergaulan kelas elite gagal telak. Tapi saya sangat mengapresiasi ini. Paling tidak kita tidak harus terus-menerus mengadopsi segala sesuatu dari barat. Bir misalnya. Kita kan punya tuak.

Pernah juga terpikir untuk membuat tuak dalam kemasan menarik. Bisa dijadikan oleh-oleh khas Medan dengan kadar alkohol yang sudah jelas, seperti arak bali. Sejalan dengan keunikan itu pendapatan daerah juga bertambah. Tidak perlu malu lagi minum tuak. Sebagai perempuan terkadang saya merasa terdiskriminasi dengan sistem patriarki suku-suku Batak.

Sudahlah, tak usah ambil pusing lagi dengan itu, meskipun saya perempuan, tak segan juga saya merekomendasikan teman-teman dari luar Medan mencicip minuman khas ini. Seteguk dua teguk tanpa perlu bernyanyi, “Lisoi… lisoi… o… parmitu… glekkkk…. ,” sambil tengleng. Tak perlu sampai mabuk karena mabuk minum tuak terkesan sangat tidak elegan. Mari kita minum tuak, sedikit itu baik. Kira-kita begitu. Agar minum tuak bisa lebih elegan! Tapi bagaimana caranya. Ada yang bisa bantu?

Komentar

Postingan Populer