Cinta dalam Selembar Sketsa

Dengung lebah terdengar begitu rupa. Dekat sekali. Rei tak bisa tidur padahal malam semakin larut. Suara itu sangat mengganggu. Membuat malam dingin sehabis hujan tak berarti bagi tidur nyenyak.

Ngung… Ngung…. Ngung… Suara itu sayup dibawa angin. Menembus jendela dan celah udara kamar . Lalu suara itu jatuh menjadi kegaduhan yang menyebalkan.

Ngung… ngung..ngung.. . Ngung….ngungggggg…. ngung…. Cepat sekali. Iramanya terburu-buru.

Rei terbangun. Membuka mata dan mendengar awas sekeliling. Malam ini ia sendiri di rumah. Tak ada siapa. Bunda dan Rana adiknya sedang pergi ke Binjai. Menghadiri pernikahan anak Tante Ana.

Rei membalik badan, berharap perubahan posisi tidur dapat mengurangi kebisingan. Sialnya tidak. Suara tak mau berdamai. Ngung… ngung… Nnggunggg… Enggggg. Ngung… ngung… engggg… ngung…

Rei membalik badan sekali lagi. Tak ada hasil. Menutup kepala dengan bantal. Menekan rapat pada dua telinga. Tak ada hasil. Dengung lebah semakin terdengar keras. Rei menyerah.

“Arghhhh… Sialan! Malam jahanam!” marah Rei.

Entah pada siapa. Mungkin pada malam, mungkin pada dengung lebah, mungkin pada dirinya sendiri. Mungkin tak pada siapaun. Tangan Rei terkepal. Menghantam hampa udara. Gurat marah terlukis di wajahnya.

Ia bangkit. Dua lompatan ditambah tiga langkah panjang, Rei sudah ada di dekat jendela. Dengan kasar ia membuka daun jendela. Angin dingin langsung menyerbu. Seketika keributan lebah berhenti. Sepi. Rei menatap keluar , tak ada apa-apa.

Angin dingin lembab masuk ke paru-paru. Rei memejamkan mata. Sisa-sisa tarian bintang menari di kelopak matanya. Lalu, suara itu datang lagi. Kali ini tak gaduh. Instrumen lebah naik turun merdu. Menyatu dengan dinginnya udara malam yang masuk ke paru-paru. Nnnnggg…. na… na… na… Nnnng…. Mmmm….mmmm….

Rei merasa tak mengenal dirinya. Ia tersenyum. Senyum yang selama ini bersembunyi mekar menghiasi bibirnya. Damai tak terdefensi. Rei tersenyum lebar. Selebar yang ia mampu ditemani sederet gigi yang rapi.

Seekor lebah betina raksasa menari di antara kuntum-kuntum bunga Begonia yang menjuntai turun di teras kamar. Tepat saat Rei membuka mata. Ia lah sang ratu. Garis hitam kuning mempercantik tarian lebah madu di antara ungu merah begonia. Rei terkesima.

“Sialan! Malam jahanam!” Hardik Rei sambil menyambar selembar kertas dan pensil. Rei asik melukis. Mengambar sketsa. Kesenangan yang sebulan terakhir tak pernah lagi ia lakukan. Ia telah kalah taruhan.

***

Namanya Rei. Kelas 3 SMU. Senang melukis, jalan-jalan, fotografi, menghayal, dan melakukan hal-hal konyol. Seperti kebanyakan anak abege lainnya. Seperti juga kalian. Tentu saja. Aku tahu itu. Kalian juga suka melakukan hal-hal konyol kan? He…he… Aku juga. Saat aku masih SMU. Bahkan sampai sekarang. J

Tapi ini cerita tentang Rei, bukan aku. Rei itu suka melukis. Tanya saja ibunya, maka ia akan menjawab iya. Atau kalau tak percaya, datang saja ke rumahnya. Rumahnya tak jauh dari sini. Hanya sepelemparan batu. Di sana, di satu ruangan yang Rei namakan studio mini, ada banyak lukisan telah jadi plus perlengkapan melukis. Semua itu milik Rei. Bukan milikku. Percayalah.

Seperti kubilang tadi, Rei suka melukis, sketsa, apa saja. Mulai dari bunga, tanaman, pohon,gedung pemandangan, benda-benda, dan orang. Apa saja. Yang paling disukai Rei adalah melukis objek hidup. Hewan dan manusia. Sesuatu yang bernilai. Rei menyebutnya humanis dan eksotis.

Rei bisa melukis kapan sajapun ia suka. Sejak aku mengenalnya, dulu, sejak kecil, ia melukis kapanpun ia mau. Di taman, di jalan, di rumah, bahkan saat jam pelajaran. Apalagi guru yang tak ia sukai, itu kerap jadi objek. Objek celaan lah pastinya. He..he… Layaknya anak abege seperti juga kalian. Kan udah kubilang tadi!

Aku cuma mau bilang, bagi Rei, melukis dan menggambar sketsa itu adalah darahnya. Darah! Kalian tau darah kan? Yah.. yang itu, yang mengalir di dalam tubuh. Zat hidup tempat para nutrisi, mineral, dan semua kebutuhan manusia mengalir di dalamnya. Seperti itulah melukis dan menggambar bagi Rei.

Bodohnya Rei, sebulan lalu ia berjudi. Menggadaikan jiwanya untuk kebodohan yang datang atas nama Cinta. Cinta taik kucing. Cinta yang tak pasti. Kuceritakan sedikit pada kalian. Mei lalu, Rei taruhan dengan Mohan. Teman bermain sejak SMP, kalau boleh dibilang sahabat.

Di koridor sekolah. Mohan berlari memanggil Rei. Karena hari Jumat, sekolah cepat sepi. Anak-anak sudah pada pulang. Perawakan mereka hampir mirip. Makanya tak heran, teman-teman sekolah mereka menyebut mereka kembar. Bagai pinang dibelah dua, satu mentah yang satunya lagi busuk. Hehe…

“What’s up bro?” tanya Rei.

“Aku mau ngomong serius sama kau. Tapi baik-baik kita cakapnya,” jawab Mohan memasang muka seserius-seriusnya sampai bikin Rei mau muntah.

“Alah, apa sih, serius amirrrr…” balas Rei cepat.

“Gini bro, ini masalah hati.” Mohan terdiam.

Kebisuan tiba-tiba menyeruak dari ruang tak bertuan, tak bernama. Rei juga terdiam. Mengerti arah pembicaraan Mohan. Percakapan yang sejak 6 bulan terakhir ia terus hindari.

Hening.

“Aku yakin kau juga udah tahu,” Mohan setelah lima menit kebisuan.

“Ya, jadi gimana?” tanya Rei.

“Ga bisa kita didiamin terus.”

“Kalo gitu kita serahin semua keputusan sama Meta,” balas Rei menjawab Mohan. Meta sahabat baik mereka berdua yang kini tengah menjadi rebutan.

“Meta bukan rebutan. Dia suka aku seperti dia suka kau. Dia ga mau nyakitin kita satupun. Semua tergantung kita. Kita bernegosiasi,” kata Mohan memilih istilah sok keren.

“Negosiasi, gaya kali kau,” canda Rei memecah kekakuan.

“Tapi aku setuju, ga boleh kita berantam gara-gara soal taik burung kayak gitu,” tambah Rei.

“Usulku kek gini, kita taruhan, sebulan. Tapi kita harus fair. Aku tahu kau cinta mati melukis. Sama kayak aku cinta mati sama basket. Nah, kita harus buktikan apa kita lebih cinta sama hobi, basket ato ngelukis ketimbang sama Meta. Kita enggak boleh melakukan hobi itu selama satu bulan. Di manapun,” terang Mohan panjang lebar.

“Harus jujur sama diri sendiri,” tambah Rei.

“Ga boleh bohong,” tambah Mohan.

“Siapa yang ga ngelukis ato ngebasket selama sebulan, berarti dia cinta abis sama Meta. Dia yang menang! Gimana?” tantang Rei.

Sebuah jabat tangan penuh persahabatan menjadi awal pertaruhan.

O em giiii… Bisa kalian bayangkan, tanpa melukis, Rei seperti tanpa darah. Tak hidup. Setengah mati. Zombie… Rei seperti tanpa nyawa dan hanya seonggok sampah. Lagi pula ia sudah kadung termakan omongan Aristoteles, seni itu adalah katarsis. Seni itu pembebasan, penyucian jiwa. Ga berseni Rei merasa dirinya kotor dan palsu. Ga ada tindakan kontlemplatif untuk membersihkan diri dari kesehariannya yang melelahkan. Poor Rei.

Rei memang telah ditakdirkan kalah. Pertaruhan kalah Rei setelah malam dingin berangin.

“TARIAN RATU LEBAH”. Judul yang tertera pada lukisan kekalahan Rei. Paling tidak itu yang dipikirkan Rei esok paginya. Sampai kemudian….

***

“Rei, ayok nonton pensi sekolah si Meta,” ajak Mohan sore itu.

Dengan malas Rei mengangguk. Menyetujui ajakan karena sedang tak ada kerjaan, bergegas ke kamar dan mengganti celana pendeknya dengan celana panjang kasual.

Ekor matanya menangkap sekilas tulisan pada selembar sketsa di atas meja. “TARIAN RATU LEBAH”. Sketsa tentang seorang ratu cantik berbusana lebah, menari indah di antara bunga-bunga Begonia.

Rambutnya halus madu, pendek dengan potongan model cepak. Sayap-sayap kuning madunya lembut namun tangguh. Ah… Rei, mana ada ratu model begini, goda hatinya. Yang ada ratu itu rambutnya panjang, anggun, manja. Ah… dasar Rei.

Sebelum pergi, diraihnya sketsa itu. “TARIAN RATU LEBAH” kini aman dalam tas sandang kecil Rei.

***

Setengah menguap, Rei menyaksikan pensi sekolah Meta. Modern dance yang memuakkan, anak-anak cheers yang norak, tak ada yang berkesan. “Mudah-mudahan pertunjukan puncaknya bisa jadi hiburan,” pikir Rei.

Bosan, ia berjalan ke belakang panggung. Di sana para pemain operet penutup tengah bersiap-siap. Merias diri dan menghapalkan sebagian adegan.

Rei terkesiap. Di balik temaram cahaya ruang latihan, seorang perempuan berbalut gaun kuning madu menatap lekat padanya. Ia tersenyum. Bandana kuning madu bermotif bunga begonia kecil menghiasi rambut pendeknya. Hampir cepak. Rei serasa mengalami de ja vu.

Ia tengah menari. Menirukan tarian operet yang akan dilakonkan. Jantung Rei dalam hitungan detik kehilangan kendali.

Terus menari, perempuan itu mendekati Rei, tersenyum manis lalu menjabat tangan Rei, berhenti tepat di depannya.

“Ratu,” katanya pelan.

Tenggorokan Rei tercekat.

“Ratu,” ulangnya lagi. “Aku Ratu. Kamu?”

“Aku? Aku? Aku lebah,” jawab Rei gugup.

“Haha..ha…,” tawa Ratu pecah. “Iya aku memang Ratu lebah,” katanya berlalu pergi sambil menari.

“Aku Rei,” teriak Rei setelah kesadarannya kembali.

“Rei…” Teriak Ratu dari jauh. “Senang ketemu.”

Rei menarik sketsa dari tas kecilnya. “TARIAN RATU LEBAH”. Rei tersenyum. Seperti senyum di malam dingin berangin itu.

Komentar

Postingan Populer