Nias Island, Treasure in Hidden Paradise


Pulau Nias, surga kecil di bentangan Samudera Hindia. Kaya dengan keindahan landscape, pantai, dan aroma mistis budaya kuno.


SELANCAR, surfing, menikmati karang, mendengar debur ombak, berjemur atau sekadar bertelanjang dada menikmati sinar matahari di pantai-pantai menjadi gambaran yang muncul di benak begitu kata “Nias” disebut. Bayangan indahnya sebuah pulau tropis pun menyeruak. Lautnya yang jernih, hangatnya air berlapis hijau bening dan biru memukau, pasir landai, bau garam ditiup angin, dan barisan pepohonan kelapa di pinggir pantai. Terbayang pula ingatan tentang pesona tinggalan budaya megalitik, rumah-rumah adat ramah lingkungan, tarian perang, dan lompat batu yang tersohor.

Kepulauan Nias adalah bagian kecil keindahan Indonesia. Merupakan daerah kepulauan yang memiliki 27 pulau-pulau kecil. 11 di antaranya berpenghuni sedang sisanya belum dihuni penduduk. Pulau ini berada di sebelah barat Pulau Sumatera dan tergabung dalam pemerintahan Sumatera Utara. Pulau yang disebut sebagai Tano Niha ini dihuni oleh mayoritas suku Nias yang disebut Ono Niha. Kelompok masyarakat berkulit pucat dengan mata sipit seperti kebanyakan ras mongoloid. Berada di tengah-tengah masyarakat ini seperti berada di lingkungan masyarakat lain di luar Indonesia.

Cara bertutur mereka cukup unik. Vokal suara keras dan lepas dengan bunyi-bunyi bahasa yang sulit disimak. Tidak terlalu familiar. Iramanya cepat. Tidak ada konsonan akhir dalam bahasa tutur mereka.

Ini adalah perjalanan kedua saya ke Nias. Seperti perjalanan pertama ke Pulau ini, perjalanan kali ini pun demi kepentingan pekerjaan. Kali ini sebagai kru sebuah kelompok pembuat film dokumenter. Travelling di hari terakhir plus menikmati perjalanan di sela-sela waktu senggang selalu menjadi bonus dari setiap perjalanan dinas. Kali ini juga.

Dari Medan kami berangkat berempat. Tim kecil untuk menjelajah Nias. Sejak awal, rencana perjalanan sudah diatur. Kami akan berangkat dengan menumpang pesawat terbang dari Bandara Polonia Medan menuju Bandara Binaka, Gunung Sitoli. Sedangkan untuk pulang, kami akan melalui jalur laut dan darat. Menggunakan Feri atau Jet Foil dari Gunung Sitoli menuju Sibolga, selanjutnya melalui jalur darat menuju Medan. Semua cara tempuh wajib dicoba.

Di Bandara Polonia beberapa turis asing mewarnai penumpang yang akan berangkat ke Nias. Sepertinya mereka adalah penggemar olahraga selancar. Papan-papan selancar telah dikemas siap untuk dimasukkan dalam bagasi pesawat. Siang itu, langit Medan sangat cerah. Dibutuhkan waktu 45 menit perjalanan menuju kota Gunung Sitoli. Sialnya, di atas ketinggian 30.000 kaki, langit dipenuhi kabut. Guncangan-guncangan kecil membuat badan pesawat seperti batuk. Kepala saya mendadak pusing. Untung saja tidak mabuk. Saya harap tidak akan pernah terjadi. Dalam riwayat travelling saya, “aib” tersebut wajib dihapus dari daftar cerita.

Sesampainya di Bandara Binaka, 2 orang kawan telah menunggu. Sebuah Ford Double Cabin berwarna perak siap menjelajah Nias bersama kami. Hari itu kami beristirahat di sebuah penginapan di Gunung Sitoli. Menyiapkan energi menjelajah Nias Selatan esok harinya.

Nias Selatan I am Coming

Nias Selatan (Nisel) adalah daerah yang paling ingin saya kunjungi di Nias. Dulu, di kunjungan pertama, saya tidak sempat datang ke daerah ini. Saya hanya pergi ke pantai-pantai di daerah Lahewa. Pantai-pantai landai yang keindahannya berbeda dengan pantai-pantai di Nisel.

Daerah ini kaya dengan potensi wisata terutama pantainya yang indah. Sorake, salah satu pantai paling diminati di Nisel, akrab di telinga penggemar olahraga selancar karena mempunyai ombak yang tinggi. Andalan wisata lainnya adalah Pantai Lagundri yang berpasir putih, terletak disebuah laguna yang bersebelahan dengan pantai Sorake. Pantai ini berjarak sekitar 13 km sebelah selatan kota Teluk Dalam. Sedang di Kecamatan Pulau-pulau Batu terdapat lokasi menyelam, terumbu karang, serta ikan- ikan hias, dan pantai berpasir putih.

Kota Teluk Dalam adalah ibukota Kabupaten Nisel. Perjalanan menuju kota ini cukup sulit. Apalagi bagi penduduk asal Medan atau kota besar lainnya. Bila menelusuri daerah pedalaman, tidak jarang jembatan atau badan jalan dalam kondisi rusak. Pernah sekali kami melewati jalanan yang patah separuh badannya. Uh… seram. Kondisi tanah di sebagian besar Nias sangat labil sehingga mudah longsor atau amblas. Untuk melewatinya dibutuhkan nyali dan keahlian. Saya beberapa kali harus menutup mata bila melewati jalanan sulit seperti itu. Untungnya, teman kami sangat ahli mengendarai. Sebagai penduduk asli, ia hafal betul kondisi alam setempat. Mobil yang kami tumpangi pun selalu berhasil mulus melewati setiap jalanan rusak.

Saran saya, bila ke Nias sebaiknya Anda didampingi seorang teman asal Nias sebagai guide lokal. Selain lebih hafal kondisi alam, kemampuan bahasa Niasnya akan membuat Anda lebih nyaman berkeliling. Percayalah!

Di Nisel hanya sinyal telepon seluler tertentu yang beroperasi. Itupun hanya di Kota Teluk Dalam dan daerah padat pemukiman, bila masuk pedalaman sedikit saja sudah blank. Jadi, baiknya selama di perjalanan non aktifkan saja ponsel Anda hingga tiba di tujuan. Lumayanlah untuk menghemat baterai.

Well, total waktu yang dibutuhkan untuk mencapai Nias Selatan dari Gunung Sitoli sekitar 3 jam dengan kendaraan pribadi dan sekitar 4 jam bila dengan angkutan umum kota.


Little Paradise


Sekalipun butuh waktu yang panjang, saya selalu ter-wah-wah di sepanjang perjalanan. Nias adalah satu surga keindahan Indonesia. Sangat banyak pemandangan indah di sepanjang perjalanan. Sayangnya, ini adalah surga yang tersembunyi. Belum dikelola dengan baik. Bahkan, Nias dari segi kemajuan termasuk ke dalam kabupaten dengan tingkat kemajuan yang sangat lamban. Perhatian terhadap Nias muncul sejak tsunami dan gempa bumi melanda pulau ini. Ah… sayang sekali.

Menikmati garis-garis pantai dan pinggiran laut menjadi kenikmatan sendiri. Alangkah nyamannya melihat para nelayan tradisional memikul hasil tangkapan, mendorong perahu kayu ke pinggiran pantai, dan memperhatikan mereka saat akan berangkat ke laut. Orang-orang membawa pancing untuk sekadar menghabiskan waktu di pantai juga sedap dilihat. Kesenangan pribadi yang bisa saya nikmati sepanjang perjalanan. Belum lagi aroma lautnya, amis bau ikan, uap-uap air mengandung garam terbang di udara. Langit cerah dengan arakan awan membingkainya. Sangat sempurna. Itu bila cuaca bagus.

Cuaca di Pulau Nias sulit untuk diprediksi. Perubahan cuaca terjadi begitu cepat dan ekstrim. Mungkin pengaruh kondisi geografis sebagai daerah kepulauan. Seperti hari ini. Dalam perjalanan menuju Nisel, cuaca berubah dengan cepat. Langit yang semula cerah di satu desa, tiba-tiba berubah mendung di desa berikutnya, hujan rintik di desa ketiga, cerah kembali di desa keempat, lalu tiba-tiba hujan deras di desa kelima. Kejadian seperti itu adalah hal yang biasa.

Kami sampai kewalahan. Bingung untuk mengambil gambar dan momen yang bagus. Cahaya yang cukup kadang tiba-tiba meredup. Bukan itu saja, yang membuat kami paling kewalahan adalah barang bawaan yang kami letakkan di bagian belakang double cabin. Enam buah ransel perlengkapan pribadi dan beberapa tas tempat alat-alat produksi. Saat hujan turun kami harus buru-buru menutup semua barang dengan tenda agar tidak basah. Tapi setelah melanjutkan perjalanan beberapa ratus meter, hujan sama sekali tidak membekas. Sedikit gondok tentu.

Di perjalanan menuju Nisel, di daerah Hilisitaro, Kec. Toma kami berhenti sebentar. Menikmati bibir pantai dari pinggir jalan. Menurut cerita masyarakat setempat, tiga buah batu besar di pinggir pantai tersebut sebelum terjadinya gempa dan tsunami terletak lebih dari 50 meter ke arah laut. Batu tersebut mengalami pergeseran. Menakar ukuran batu, saya membayangkan betapa besarnya kekuatan gempa yang telah memindahkannya. Kamipun mengabadikan momen tersebut dalam sebuah ruang petak bernama kamera.


Bertarung Ombak di Sorake


Kami sudah tiba di Sorake. Panorama yang disajikan di sekitar pantai Sorake memunculkan kesan damai. Sorake, bulan Mei itu tidak ramai. Tidak sulit mendapatkan tempat penginapan bagus karena tak banyak pengunjung. Pantai Sorake hanya ramai saat ada kejuaraan internasional selancar, yang biasanya jatuh pada bulan Juni - Juli, saat ombak sedang besar-besarnya. Di luar itu, Sorake dan Lagundri adalah pantai indah yang sepi dan sunyi.

Pinggiran pantai dipenuhi karang yang telah mati. Mungkin pengaruh kegiatan manusia. Karang-karang itu berwarna gelap, keras, dan padat. Menjadi hunian ratusan jenis hewan lain, seperti kerang, kepiting, siput atau umang-umang, terkadang juga ular laut. Kerasnya karang meninggalkan luka saat ombak menghempas ke tepian. Seperti yang saya alami sore itu saat duduk menikmati ombak di pinggiran pantai. Saya terhempas ombak besarnya. Empat goresan karang membekas di punggung telapak kaki saya. Tapi bagi pencinta selancar yang sedang beraksi di depan sana, luka itu tak ada artinya.

Mereka adalah penduduk lokal dan turis asing. Gerakan mereka lincah di bawa ombak. Meliuk-liuk indah. Timbul tenggelam di gunung-gunung air. Melambung terbang mengikuti tinggi ombak, jatuh terhempas terbawa arus. Warna-warni papan selancar terlihat indah melukis pantai. Beberapa anak sepuluh tahuhan berjalan, menuju matahari terbenam. Membawa papan selancar. Mereka siap bertarung. Sayang, saya bukan peselancar. Saya hanya penikmat. Memuji mereka dan menyimpan ingatan tentang ombak tinggi itu.

Tempat surfing dan selancar yang disebut paling baik kedua setelah Hawaii adalah Pantai Sorake dan Lagundri. Ombak di pantai Sorake ini bisa mencapai ketinggian 15 meter karena berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia. Sorake adalah laut lepas. Ombaknya memang sangat ideal untuk olahraga air berselancar. Ombak di pantai ini punya lima tingkatan. Seperti kata Kisaman, penduduk lokal yang kami ajak mengobrol, tidak ada tempat lain di dunia yang punya ombak seperti itu. Jadi, kalau peselancar gagal main slalom di sana, mereka masih bisa melanjutkan atraksi dengan gaya lain di tiap ombak berikutnya. Bila gagal lagi, maka masih ada ombak berikutnya. Peselancar tidak akan pernah mati gaya.

Selain berselancar, mengumpulkan aneka kerang dan karang bisa dilakukan. Kulit kerang di pantai ini sangat banyak jenisnya. Indah pula. Tapi ingat, jangan mengambil kerang yang masih hidup. Bagaimana pun kita perlu menaruh kepedulian pada biota laut.

Kami menginap di sebuah penginapan kayu berlantai dua. Terasa sangat nyaman. Sepanjang Pantai Sorake berjajar home stay yang siap melayani dengan tarif murah sekelas penginapan melati. Ada juga cottage yang mengambil model rumah tradisional Nisel. Sepanjang malam desiran ombak yang menghantam karang semakin menjadi-jadi. Iramanya membuat damai. Apalagi ketika air pasang datang, suaranya seakan mampu membuat karang-karang di pinggiran pantai pecah. Sangat mistis. Sungguh nikmat menyesap bir di suatu malam di Sorake sambil menikmati karang menusuk gelapnya malam. Kami menghabiskan malam di Sorake.

Hombo Batu di Bukit Matahari

Belum lengkap rasanya ke Nisel bila tidak ke Bawomataluo dan melihat atraksi Hombo Batu. Saya sangat mengharapkan hari itu datang. Hari saat kami akan mengambil gambar di sana.

Kami berangkat dari Sorake. Menurut Togap, salah seorang kawan yang menjadi guide lokal, kami akan tiba setelah 30 menit perjalanan. Jaraknya sekitar 10 Km dari Pantai Sorake. Bawomataluo, dalam bahasa Nias berarti Bukit Matahari. Bawo artinya bukit dan Mataluo berarti matahari. Sesuai dengan namanya, masyarakat setempat seringkali menyebut desa ini dengan nama Bukit Matahari. Sebuah desa kuno di ketinggian 15 meter dari kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan. Udaranya sejuk menghadap pemandangan indah di sekitarnya. Seperti sebuah benteng di ketinggian.

Seperti kebanyakan desa-desa kuno penganut animisme dan dinamisme, mereka percaya tempat yang tinggi akan membawa mereka semakin dekat dengan Sang Pencipta yang berada di langit di atas bumi. Budaya megalithikum di tempat ini memperlihatkan itu. Rumah-rumah panggung tinggi dengan batu-batu megalithikum yang juga tinggi.

Untuk menuju desa Bawomataluo, dari dasar perbukitan yang terletak di Kecamatan Fanayama, kami harus berjalan kaki menaiki tangga batu berjumlah 85 anak tangga. Ketika menginjakkan kaki di halaman gerbang bawah Bawomataluo, para pengunjung disambut dua patung penjaga gerbang desa adat berupa patung hewan berkepala lasara. Jenis patung yang banyak menghiasi karya-karya seni Nias.

Kami berkeliling. Melihat rumah adat Nias, Omo Hada yang diduga sebagai rumah adat tertua di Nias. Rumah adat ini adalah rumah kepala suku atau raja. Rumah-rumah adat di tempat ini terbuat dari kayu yang tahan lama, dibangun tanpa menggunakan paku untuk pemersatu bangunan. Melainkan menggunakan teknik tertentu untuk menyambung sendi-sendi kayu.

Membayangkan besarnya kayu-kayu yang diangkut ke atas bukit, saya menyimpulkan suku Nias kuno adalah suku yang kuat. Penasaran, saya mencari tahu bagaimana cara mereka mengangkat kayu-kayu tersebut pada zaman dahulu. Pidar Bulolo, Pemuda 20-an tahun menceritakannya. Dahulu kala untuk menyemangati kaum lelaki mengangkat kayu besar, selain dengan kekuatan magis, kaum perempuan berdiri berjajar di atas bukit dalam kondisi telanjang. “Untuk menyemangati mereka,” kata Bulolo serius. Cerita yang saya tidak yakini kebenarannya tapi saya dengar juga dari penduduk yang lain.

Rumah-rumah tradisional di sini dibangun dengan sangat teratur pada satu kompleks. Rumah-rumah penduduk dibangun sejajar di kiri dan kanan kompleks. Rumah raja di satu sudut utama dengan bangunan yang lebih besar dan menonjol. Kompleks ini juga memiliki konblok-konblok alami sebagai tempat resapan air. Sangat ramah lingkungan.

Setelah puas berkeliling, kami pun menyaksikan atraksi lompat batu. Dua orang pemuda setempat, Agas Wau dan temannya telah mengganti kostum dengan pakaian tradisional Nias. Pakaian indah didominasi warna kuning keperakan, merah, dan hitam. Agar bisa menyaksikan atraksi ini kami harus merogoh kocek Rp 200.000 untuk 2 buah lompatan. Dalam hitungan detik, sedikit ancang-ancang sejauh 15 meter, mereka berlari kencang, melompat dan melayang melintasi tugu batu serta memutar tubuh dan mendarat dengan sempurna dan tetap berdiri menghadap tugu batu. Lucu juga berfoto dengan para pelompat batu dengan memakai topi kebesaran suku Nias. Kelihatan sangat gagah.

O ya, sebenarnya, selain di Bawomataluo kami juga menemukan desa adat yang memiliki tugu lompat batu. Seperti Botohilitano, Orahili, dan Hilinawa Mazinge. Tapi ternyata hanya Bawomataluo satu-satunya desa adat yang masih memegang teguh tradisi dan melestarikannya.

Komentar

Postingan Populer