Around Lau Kawar in 24 Hours

Teks oleh Eka | Foto oleh Eka & Yulin 


*Tulisan ini ditulis saat Lau Kawar masih bisa diakses oleh umum dan Gunung Sinabung belum Erupsi. Postingan ini didasari rasa kangen kembali camping di sana



Misty Morning at Lau Kawar

Kadang nikmatnya liburan bukan persoalan kemana, tapi dengan siapa!

KALAU kamu bilang liburan ke Lau Kawar itu udah biasa, saya mau bilang, kemanapun tujuan liburan, nggak akan pernah menjadi biasa kalau itu kamu lakukan bersama orang-orang tersayang, sahabat, dan mereka yang terdekat. And I did it.

Minggu lalu, saya dan 3 orang sahabat saya, Yulin, Tika, dan Sarah melakukan perjalanan bersama-sama ke Lau Kawar. Tujuannya jelas, liburan santai, kemping, dan mengisi paru-paru dengan udara baru. Udara baru yang ratusan kali lebih bersih dan segar ketimbang udara kota Medan yang sehari-hari kami hirup. Paru-paru kotor sudah merintih. He-he-he…


Berbekal logistik yang sudah kami atur rapi di dalam ransel, perlengkapan masak, tenda doom untuk 4 orang –terima kasih buat teman saya Erianto yang sudah memercayakan tenda kesayangannya buat kami tiduri-  plus rasa percaya diri, percaya kepada diri sendiri maksudnya, hi-hi-hi… kami berempatpun berangkat.

Lagi nyiapin tenda. Disambut matahari sore yang indah dan selengkung pelangi di dekat camping ground

Disambut Pelangi

Mendekati pukul 6 sore, setelah membayar biaya retribusi sebesar Rp. 4000 per orang di gapura pintu masuk, kami tiba di Lau Kawar. Saat menarik nafas, udara segar dan mulai terasa dingin mengambil alih semua ruang dalam paru-paru. Sebentar lagi hari akan gelap. Dan beruntungnya, kami bisa menarik nafas lega, cuaca sore itu baik-baik aja. Kami nggak perlu takut hujan turun saat kami belum selesai mendirikan tenda. Padahal ini bulan yang biasanya sangat rawan dengan hujan.

Segera aja, Yulin, yang paling kami percayai punya keahlian mendirikan tenda, mencari lokasi yang tepat untuk memacakkan tiang. Tanah datar dari antara perbukitan camping ground Lau Kawar. Sembari ia sibuk memilih lokasi, kami sibuk meletakkan semua beban yang sudah membuat punggung minta diberi kelegaan.


Dan… saat sedang ‘sok’ sibuk membantu menggeluarkan semua peralatan tenda, Tika tiba-tiba berteriak…. “Woiiii… ada pelangi.” Dia tertawa sembari menunjuk ke arah Timur Laut. Sontak semua mata kami tertuju pada sebaris lengkung panah warna-warni di langit sore itu.


Sinabung hari itu...

“Somewhere over the rainbow, way up high
There’s a land that I heard of, once in a lullaby
Somewhere over the rainbow, skies are blue
And the dreams that you dare to dream, really do come true”

Sebait lagu dari Jason Castro, Over The Rainbow yang menjadi salah satu over played song di iPod saya tiba-tiba berputar di kepala. Saya menyanyikannya spontan, sambil menatap pelangi dengan sendu. Ihiy… Sore itu kami tiba di Lau Kawar disambut pelangi dan jingga sunset yang sangat indah.

Kalau mau menyebut beruntung, maka kami adalah 4 anak muda yang beruntung sore itu. November, bulan yang kaya dengan hujan, meskipun hanya tumpahan air, kami terbebas dari ketergesaan memasang tenda. Dan… beberapa waktu kemudian, voilaaaa! Tenda unyu-unyu kami pun udah berdiri dengan gagah.   

Dari kemping heboh sampai cuci mata


Malam udah turun. Seperti saya bilang sebelumnya, kami beruntung karena hujan akhirnya turun hampir tengah malam. Kami bahkan sempat memasak air untuk ngopi dan memasak bekal yang kami bawa dari rumah. Sebagai menu berat makan malam, sorenya kami putuskan memesan bakso aja. Nah, FYI di Lau Kawar ada juga penjaja jajanan yang kerap datang dan mangkal untuk beberapa jam. Ini adalah rekor tercepat saya makan bakso. Pun kawan-kawan yang lain. Selain diburu-buru untuk segera mendirikan tenda, jadi kami makan bakso sambil masang tenda, ha-ha-ha… si abang tukang bakso juga memburu supaya mangkok baksonya secepatnya dikembalikan. Maklum, ada pembeli lain yang memesan.



Tenda kami di antara tenda-tenda lainnya


Bukan tenda kami satu-satunya yang berdiri di camping ground Lau Kawar malam itu. Ada belasan tenda lain yang memberi warna pada rumput hijau camping ground, yang saya sadari besok paginya, karena beberapa di antaranya datang setelah kami.

Kemping memang selalu menyenangkan. Belajar mandiri, menikmati saat-saat begitu dekat dengan tanah dan bumi, menjadi sangat terbuka pada langit, kemping juga membuat kita akrab dengan sahabat. Berempat kami berdesakan di dalam tenda yang mini. Sarah, yang baru pertama kali kemping kami daulat tidur di bagian pinggir. Saya nggak mau dong kedinginan kali ini. Jadi dengan nakal saya langsung menjajah dan menggambil posisi aman di tengah. Ha-ha-ha...


Tertawa, bercerita, mendengar bisik-bisik dari tenda sebelah, cekikikan mengarang cerita tentang banyak kisah yang mungkin terjadi di masing-masing tenda, kami jatuh tidur. Sesekali di tengah malam sampai subuh, terdengar igau orang-orang yang kedinginan, keluh Sarah yang katanya nggak bisa tidur nyenyak, atau lasaknya Tika yang berkali-kali bolak-balik badan. Cuma Yulin yang malam itu banyak diam.


Saya nih jadi juru masaknya...
Pagi datang. Saya melihat matahari mulai terbit malu-malu. Kemerahan. Saya melihat titik air yang basah di bagian luar tenda kami, sisa hujan tadi malam. Juga rumput yang basah. Saya melihat danau dengan kabut yang belum menghilang. Pohon-pohon pinus di pinggir danau yang terlihat sendu. Saya melihat Gunung Sinabung yang berdiri angkuh namun sangat berbaik hati pagi itu. Cerah, seandainya kami mendaki malam tadi, tentu kami beruntung mendapatkan sunrise yang bagus di atas sana.

Saya merasakan sesuatu. Saya merasakan bebas, saya merasakan damai. Saya merasakan teduh. Tersenyum saat melihat ketiga teman saya masih pulas di tenda. Bahkan ketika membuatkan kopi atau makanan buat kami semua, saya merasakan sesuatu, saya merasa bahagia. Terlalu sentimentil mungkin, tapi saya menikmati perasaan saat berada di sini.

Selamat malam dari tenda kami



Tentang melakukan sesuatu, kami melakukan banyak hal di sini. Meskipun memutuskan tidak hiking di perjalanan kali ini, kami sempat menikmati pemandangan dari atas bukit. Sejauh mata memandang, tenda-tenda aneka warna, merah, kuning, biru, orange, seperti kembang-kembang kecil pada rumput hijau yang kelihatan seperti karpet dari atas bukit. Danau juga kelihatan sangat teduh.

Capek menggumpulkan ragam landscape dalam kotak segi empat bernama foto, kami duduk-duduk di warung pinggiran danau. Menikmati segelas teh panas atau kopi tubruk plus goreng pisang raja yang baru diangkat dari penggorengan. Sedap bah! Apalagi angin yang adem semriwis itu “manja-manja jambu” menabrak-nabrak wajah.


Iri dengan bapak yang asyik dadah-dadah ke kami sambil mengayuh kayak, juga satu keluarga yang kelihatan sangat asyik keliling danau dengan boat, kami pun sepakat untuk ikutan menyewa boat dan mengelilingi danau yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) ini. Danau seluas 200 Ha yang terletak di Desa Kuta Gugung, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara ini adalah pintu masuk menuju Gunung Sinabung. Karenanya lokasinya sangat eksotis.


Setelah melakukan adegan tawar-menawar, harga yang kami peroleh tidak ada diskon. He-he-he… Dengan merogoh kocek Rp. 100.000 kami akan dibawa mengelilingi Danau Lau Kawar sekitar lebih kurang satu jam.  Biaya Rp. 100.000 ini sama saja bila kita berjumlah 10 orang. Hitungannya adalah per-boat, bukan per orang. Meskipun tidak ada potongan harga, kami diberi bonus akan dibawa masuk hutan dan menemukan keajaiban di sana. Apa? Tunggu saja sampai di tujuan, begitu kata abang-abang ranger.


Bang, bawa adek nyebrang, Bang. :p







Kapal melaju, membelah danau. Aroma pepohonan bercampur rawa menguar. Di sebelah kanan danau ada Deleng Lancuk atau Bukit Lancuk yang biasa menjadi tempat tracking, cukup banyak anggrek hutan di sana. Selain terkenal dengan anggrek hutan dan kantung semar hutan di sana juga terkenal dengan banyaknya pacet coklat kemerahan di sana. Errrrr…

Kejutan di Hutan


Boat sudah melaju, menyusuri sisi kiri danau, ada 8 penumpang. 4 saya dan sahabat ditambah 4 ranger lokal. Sebagai suku asli daerah ini, saya dipermudah oleh kemampuan berkomunikasi berbahasa daerah. Memudahkan untuk lebih cair dengan mereka. Perjalanan kami diakrabkan percakapan hangat.


Setelah sekitar 15 menit, kapal merapat ke tepian. Pinggir sebuah hutan. Deleng Ertinaruh, bukit dan hutan yang akan masuki. Dari para pemuda setempat itu kami diberi tau kalau di dalam hutan terdapat air terjun cantik. Namanya? “Ah, sebut saja air terjun Ertinaruh,” jawab mereka menamai air terjun tak terlalu besar yang baru sekitar 6 bulan terakhir ini mereka perkenalkan pada wisatawan.


Masuk ke dalam hutan yang segar namun mendebarkan.

Dalam bahasa Karo, Ertinaruh artinya Berjasa. Lekatnya tidak terlalu jauh ke dalam hutan. Memakan waktu sekitar 15 menit tracking aja. Tapi 15 menit itu terasa sangat panjang buat saya. Setelah 2 bulanan nggak masuk hutan, entah kenapa, hari itu saya sangat parno. Parno ngeliat pacet cokelat kemerahan yang ukurannya cukup besar. Biasanya saya tidak sehisteria itu.

Astaga! Baru saja menginjakkan kaki di hutan bambu yang kami musti lalui, 3 ekor pacet cokelat kemerahan udah menggantung manja di kaki saya. Besendal gunung membuat kaki saya terbuka. Sensor panas saya mudah ditangkap pastinya. Berusaha berpikir tak ada salahnya donor darah, saya gagal menenangkan pikiran. Teriakan panik saya menarik pacet-pacet itu malah membuat ketiga teman lain juga menjadi heboh dan parno. Maafkan saya!

Yulin, yang biasanya nggak takut pacet, juga ikutan parno. Ha-ha-ha… kakinya bahkan terjerembab ke lumpur di jalan setapak hutan bambu. Saya nggak mau tanyakan ke dia ada berapa pacet yang sudah singgah di kakinya. Auch…


15 menit setengah mengerikan itu terbayar tuntas. Setelah melewati sungai kecil berair dingin, mengikuti arus, mencari hulunya, mata saya bersiborok dengan dua tingkat air terjun yang aduhai. Suaranya juga terdengar sedap di telinga. Airnya dingin luar biasa.



Keindahan air terjun ini masih bisa didustakan? Meskipun kecil tapi segarnya ampun deh!


Sebatang bambu dijadikan pancuran. Dari pancuran ini, Yulin mengobati haus. Sarah mencoba menjepret. Tika, seperti 2 pemuda lokal lainnya, nggak tahan buat membasahi badan. Saya? Saya menikmati dinginnya air dan suara gemericik dari tepian. Membasahi kaki dan menonton tingkah polah teman-teman.

Puluhan tangkai kembang sedap malam, kardiol, dan tekwa ada terletak di pinggiran atas air terjun. Sisa-sisa sembahyang penganut kepercayaan menyembah alam dan nenek moyang. Kami menikmati kebersamaan kami di sini.

What to do:

Selain kemping dengan teman-teman, hiking Gunung Sinabung (kalau cuaca bagus, sunrise di gunung ini keren sekali), kamu bisa sekadar duduk-duduk santai, menikmati pemandangan dari atas bukit, keliling danau dengan boat, memancing ikan, atau tracking ke dalam hutan. Oh ya, di Lau Kawar juga kamu bisa menyewa villa dengan rate harga dimulai dari Rp. 1 juta. Seru kan rame-rame bareng teman?

How to get there:

Untuk menuju Danau Lau Kawar, dari Kota Medan bergeraklah menuju arah Brastagi. Dari tugu perjuangan di Kota Berastagi, berbeloklah menuju Kecamatan Simpang Empat. Menempuh jarak sekitar 30 Km dari Kota Berastagi dengan waktu tempuh sekitar 1 jam. Lau Kawar yang berada di Kecamatan Naman Teran, Kabupaten Karo ini bila dari Medan berjarak tempuh sekitar 3 jam. Ada banyak kendaraan umum yang bisa kamu tumpangi jika tidak membawa kendaraan pribadi.



Komentar

Postingan Populer