To You, Sebuah Pameran Ketelanjangan Gelisah Franky Pandana

Teks dan Foto oleh Eka Dalanta @EkaDalanta


TIDAK mewah, tapi kita menemukan ‘wah’ dalam permainan imajinasi dan perasaan yang ingin disampaikan Franky Pandana.

Pameran lukisan yang digelar sejak 06/08- 20/08 ini adalah pameran tunggal ketiga Franky Pandana setelah ‘Sensibility” yang diadakan di A2 Gallery, Malaysia (2012) dan “Desk Project” di A2 Gallery Malaysia (2013). Kali ini mengangkat tema “To You” pameran diadakan di galeri yang dikelola secara swadaya oleh Franky Pandana, Galeri Embun, Jl. Parapat No. 19 Medan.


Acara pembukaan pameran

Dibuka oleh dr. Sofyan Tan, tokoh pendidikan di Sumatera Utara, beliau sangat mengapresiasi kegiatan berkesenian seperti ini dan mengharapkan karya-karya seni di Medan semakin baik meskipun secara atmosfer, dunia kesenian di Medan butuh banyak ‘udara segar’.

Sekitar 20-an karya dipamerakan di ruangan kecil yang disulap sebagai ruang pameran di lantai tiga Galeri Embun. Lukisan-lukisan tersebut didominasi warna biru dan kebanyakan menggunakan kertas (bukan kanvas) sebagai material lukisannya. “Saya tidak ingin terikat dengan kanvas saat melukis. Saya ingin melukis di atas kertas yang bisa dirobek dan rapuh,” kata Franky sambil bercanda sewaktu mengajak para undangan yang hadir berkeliling menikmati lukisannya.

Franky Pandana dengan karyanya


Lukisan-lukisan yang didominasi warna biru tersebut bercerita tentang banyak hal. Konotasi biru tidak melulu berbicara tentang kesedihan. Biru bisa saja berbicara tentang harapan. “Saat kita melihat langit dan langit biru cerah, kita tidak bicara tentang kesedihan, kita berbicara tentang harapan bahwa hari ini akan baik,” kata Franky.

“Ide itu muncul mendadak saja. Seperti Jackson Pollock yang dengan imajinatif menggambar action painting pada kanvas, saya juga tanpa pertimbangan apa-apa menggambar dan menggunakan warna biru sebagai warna utama dalam lukisan yang saya tampilkan kali ini,” kata Franky lagi.

Menikmati lukisan


“Biru ini seperti meniru warna biru pada lukisan Picasso. Waktu selesai lukisannya baru saya sadar, lho ini kok biru kayak karya Picasso. Tapi ini mungkin akibat pengaruh dari seniman-seniman yang karyanya saya kagumi dan nikmati. Padahal saya jarang sekali bermain-main dengan warna biru,” lanjut Franky menjelaskan tentang pemilihan warna biru yang mendominasi karyanya.

Lalu apa sebenarnya yang ingin disampaikan Franky lewat karyanya? All about love? Atau tentang seksualitas? Itu kesan pertama yang saya tangkap sewaktu menikmati paparan karya-karyanya yang tergantung di dinding. “It would be about love, about missing someone and something, tentang apa yang sudah kamu lakukan dan tak ingin lakukan lagi, bisa tentang apa saja,” jelas Franky sewaktu saya menceritakan apa yang saya tangkap dari karyanya. Dia mengibaratkan berkarya itu seperti seorang penyair yang menyusun kata dalam kalimat. Kadang kata yang disandingkan tidak sepadan namun indah dan menimbulkan ribuan tafsiran. Si pengarang menyerahkan penilaian terhadap karyanya kepada pembaca.

Midnight Wispher


Lalu bagaimana dengan seksualitas yang ditangkap oleh penikmat karya lukisnya? Sexuality is completely not! Begitu kata Franky. Walaupun banyak menggambarkan ketelanjangan, apa yang ingin ia sampaikan bukanlah soal seks.  Manusia lahir dalam ketelanjangan. Dalam berkaryapun Franky ingin lahir dalam ketelanjangan tersebut. “Kalaupun saya menggambarkan sosok perempuan dalam ketelanjangannya, perempuan itu bukanlah orang lain. Perempuan itu adalah saya, perempuan itu bisa jadi para penikmat yang melihat karya tersebut. Saya tidak bicara tentang melankolis laki-laki. Saya berbicara dengan perasaan seorang perempuan. Unsur feminitas yang ada di diri laki-laki,” Franky panjang lebar menjelaskan perasaan dan pikirannya.

Seperti juga tiga karya instalasi yang ikut ditampilkan. Salah satunya balon merah yang diikatkan dengan tumpukan karya-karya Franky Pandana. Imajinasi harus berani, itu pesan yang ingin ia sampaikan.

Instalasi ini ia pakai ketika lukisan tidak mampu menyampaikan secara keseluruhan apa yang ia pikir dan rasakan. Karya instalasi dan kata membantu menyampaikan semuanya. Melengkapi semua perasaan dan pikiran yang ingin ia  sampaikan tersebut. “Kadang-kadang saya tidak mampu memvisualkan perasaan tersebut maka saya gunakan kata-kata,” Franky bercerita.

Tanpa kanvas, Franky melukis di atas kertas


Instalasi lain adalah telur yang diletakkan pada sebuah selimut biru yang digelar di lantai pameran. Telur berbicara tentang buah cinta. Buah dari cinta yang sesungguhnya rapuh, sulit dipahami dan tidak bisa disentuh. Apa yang ada dalam telur adalah misteri yang tidak dapat disentuh. Cinta itu sendiri biru. Dan meletakkan di lantai adalah sebuah gambaran bahwa cinta harus mengambil jarak untuk bisa memperhatikannya. Begitulah Franky berbicara tentang makna.

To you, tema pameran lukisan yang ia pakai kali ini memang bisa berbicara tenang siapa saja, tentang apa saja, tentang Tuhan, tentang religi, tentang perasaan gembira, tentang kesedihan, tentang luka, atau tentang cinta. Tapi lagi-lagi, Franky menyerahkan penafsiran kepada yang melihat karya. Tapi yang pasti bagi Franky, si pemilik ide dan karya, karyanya tersebut adalah kontlemplasi dari kegelisahan yang muncul dalam dirinya.

Karya yang diselesaikan sekitar 3-4 bulan ini adalah bentuk ide-ide yang berkelebat di benaknya. Karya-karya kontemplatif yang tidak akan bernilai bila tidak diapresiasi oleh rasa dan pekerti.


Bagi Franky, berkesenian adalah proses mencari, kadang-kadang menemukan kemudian mulai mencarinya lagi. Begitulah proses yang akan diterus dijalanainya. Mencari, menemukan, kemudian mencari lagi, tidak pernah berhenti. Dia menyebutnya ‘hidup’.

Komentar

  1. Terimakasih sudah bersedia memberikan udara segar kepada seni rupa Medan. Semoga menjadi tenaga baru bagi publik seni rupa Medan. Mauliate, bujur, kamsia, thanks a lot.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama, Ko. Saya menulis apa yang saya ingin tuliskan. :D

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer