Reptil Bisa Bikin Jatuh Cinta
Inkubator sederhana itu tertutup rapat. Lubang udara dibuat seperlunya saja agar kelembaban dan kehangatannya tetap terjaga. Dua buah telur calon bayi Kadal Gecko dieram di sana, hangat di antara serbuk kayu abu-abu.
Dan Emil, pemilik reptil tak sabar menanti kelahiran bayi-bayi Geckonya. Ia sudah meletakkan telur-telur itu di sana selama belasan hari. Masih sebulan lagi menunggu. Soalnya, masa pengeraman telur-telur Gecko berkisar 1,5-2 bulan.
Emil adalah salah satu pencinta reptil di Medan. Hobi ini memang belum lazim di Medan. Tidak seperti di Jawa yang sudah lama dan sudah banyak komunitasnya. Setahu Emil di Medan hanya ada sejumlah kecil komunitas pencinta reptil yaitu ia dan teman-temannya yang berjumlah enam orang. “itupun yang dua lagi belum pernah ketemu langsung,” kata Emil. Dalam komunitas tersebut mereka saling berbagi informasi tentang pembelian reptil, koleksi terbaru, pensuplai pakan, perawatan, dan informasi-insformasi lainnya.
Siang itu, saat ditemui di rumahnya, Emil memperkenalkan beberapa koleksi reptilnya. Berded Dragon Tiliqua (kadal lidah biru), Hypo Carrot Tail Gecko, Hi Yellow Gecko, ketiga jenis ini adalah kelompok kadal, ada lagi jenis ular Albino Honduran Milk Snake dan Albino Amelistic King Snake, dan jenis kodok Fantasy Pacman dan Budget Frog milik teman Emil.
Kadal lidah biru, bentuknya mirip dengan komodo dalam bentuk mini. Berwarna gelap hitam keabu-abuan, reptil satu ini diberi nama Skingky oleh Emil. Ototnya sangat kokoh dibalut sisik yang keras. Cantik sekali. Sambil berjalan mengitari ruangan lantai dua rumah Emil, tiap beberapa detik Skingky menjulurkan lidah birunya, sedikit pamer. Itulah sebabnya reptil jenis ini dikenal sebagai kadal lidah biru.
Kemudian Emil, bapak satu anak ini, memperkenalkan saya kepada koleksi reptilnya yang lain. Jenis Gecko yang sedang menjadi bintang bagi pencinta reptil saat ini. Kadal berukuran kecil ini memang sangat seksi. Badannya ramping dengan warna-warna menarik yang membuat mata sedap menyaksikannya. Ada sepasang dalam “rumah” kecil Gecko yang terbuat dari kaca. Matanya terus keluar mengajak saya untuk saling menyapa. Manis sekali.
“Ada satu lagi sebenarnya,” kata Emil yang sudah mulai mengoleksi reptil sejak masih kuliah di tahun 2002. Emil menunjuk satu kotak di pojok ruangan. Itu dia, di sana satu kadal Gecko bersembunyi. Ia sedang dikarantina sehabis bertelur. “Ia baru saja bertelur, makanya dikarantina. Soalnya ia akan bertelur dua kali lagi,” kata Emil menjelaskan kemapuan bertelur kadal itu selama tiga tahap.
Yang paling menonjol dari koleksi kadal Emil adalah Hypo Carrot Tail Gecko atau kadal berjenggot. Warnanya orange menyala seperti wortel. Di bagian leher ada gerigi-gerigi yang membuatnya cantik seperti berjenggot. Kepalanya mendongak, memperlihatkan gerigi-gerigi di bagian kepala. Emil membelinya ketika masih kecil dengan harga Rp. 3 juta.
Sekarang waktunya bermain-main dengan ular koleksi Emil. Kecil dan ramping. Warnanya sangat mencolok. Orange bergaris-garis dan putih bergaris-garis. Tidak terlalu panjang karena belum dewasa. Ditawari memegang, ragu-ragu saya menyentuhnya. Lembut dan lunak tapi terasa dingin. Sejenis ular Colubrid muda.
Colubrid termasuk ular yang jika sudah dewasa tidak terlalu panjang, maksimal 1,5 meter. Dari jenis ini yang paling sering dipelihara adalah jenis Millk Snake, King Snake, dan Corn Snake. Milk Snake terkenal dengan warna-warninya yang ngejreng seperti warna orange pada koleksi Emil. King Snake adalah jenis yang paling galak dari kelompoknya, tetapi mudah dijinakkan. Gelar King Snake melekat karena ular ini bersifat kanibal, memakan ular-ular lainnya. Sedangkan Corn Snake adalah ular yang biasa ditemukan di ladang-ladang jagung di Amerika, warnanya sangat bagus dan sangat mudah dijinakkan. Ketiga jenis ular ini tidak berbisa. Kali ini, Bawi, salah satu pencinta reptil lainnya yang gantian memberikan penjelasan.
Seperti halnya Emil, Bawi mengaku menyukai reptil karena pemeliharaannya mudah dan murah dibandingkan hewan peliharaan lainnya, tentu saja juga karena reptil terkesan eksotis dan tak biasa. Biaya pakan peliharaan Emil misalnya, hanya berkisar Rp. 150-200 ribu perbulannya untuk pasokan tikus dan belalang. Awalnya agal sulit memang mencari tikus putih untuk makanan ular peliharaan Emil dan Bawi. Untungnya, salah satu pencinta reptil, Iman, mulai mengembangbiakkan tikus putih di Desa Namo Pencawir, Tuntungan. Dari sanalah semua pasokan tikus putih untuk pencinta reptil di Medan.
Bawi yang sudah rampung menyelesaikan kuliah di Fakultas Kedokteran USU ini mengaku sudah memelihara reptil sejak tahun 2006. Tak seperti Emil, kebanyakan peliharaan Bawi adalah ular. Mulai dari jenis Colubrid hingga jenis Piton.
Menemukan spesies baru adalah tantangan terbesar dunia pencinta reptil. Bukan cuma spesies yang ditemukan di alam, tetapi hasil persilangan yang mereka sebut Morth. Semacam persilangan genetik untuk menghasilkan jenis baru. “Itu menjadi semacam kebanggan dan prestasi. Salah satu teman saya sudah ada yang berhasil,” kata Bawi yang pernah bersedih karena reptil pertamanya mati. Sejenis kodok yang ia pelihara dari ukuran kecil.
Waktu itu Bawi sedang pergi ke luar kota selama tiga hari. Sayangnya, kodok yang butuh suasana lembab itu tidak ada yang merawat dan menyiramnya. “Mama lupa nyiram,” kata Bawi. Karena kekeringan kodok itupun akhirnya mati. “Sedih sekali rasanya, walaupun mereka hewan, tetap terasa ada ikatan batin,” cerita Bawi. “Biasanya kodok itu tidak pernah bersuara, waktu saya pulang, ia bersuara, kemudian mati. Seperti salam perpisahan,” sedih Bawi.
Emil juga pernah merasakannya. Ular Morulus Normal peliharaannya. Tidak tahu kenapa selama beberapa hari terkena pilek. Lendir keluar dari mulut dan hidungnya. Lima hari kemudian, ular yan ia beri nama Bitu itu pun mati. Ada perasaan kehilangan karena sudah memeliharanya sekian lama. Dari ukuran bayi 70cm hingga panjangnya 1,5 meter. Padahal biasanya ular bisa bertahan hingga 20 tahun.
Dan Sigu, nama iguana Emil, mati karena sudah tua. Kematian Sigu membawa sebagian kenangan masa-masa kuliah dan masa-masa pacaran Emil dengan isterinya. “Sigu kami adopsi dari seorang teman waktu kami masih pacaran,” cerita Emil.
Bagi pencinta reptil seperti Emil dan kawan-kawan, kenangan seperti itu tidak tergantikan. Sekalipun ada yang berminat membeli koleksinya, Emil tidak akan pernah menjualnya.”Paling saya bantu carikan,”tawar Emil tertawa. Siapa mau merepotkan Emil?
Komentar
Posting Komentar