Peu Haba Meulaboh? Apa Kabar Meulaboh?








Kali ini, saya berkesempatan menapaki keindahan pantai Meulaboh. Pantai yang pernah diterpa arus bergulung-gulung setinggi gunung pada Desember 2004 lalu. Walau rusak paling parah, puing tsunami itu tak lagi banyak terlihat kini. Kenanganlah yang masih melekat pada ingatan. Kengerian tsunami itu tersisa pada rasa kehilangan, perkuburan massa korban tsunami, dan bibir pantai yang tak lagi landai. Apa kabar Meulaboh hari ini? Yuk.. ikuti perjalanan Luxo menikmati keindahan pantai di kota Meulaboh.

Meulaboh terletak 175 kilometer dari kota Banda Aceh, tergabung di Kabupaten Aceh Barat. Anda dapat menempuh perjalanan darat dan udara dari Medan. Melalui perjalanan udara, hanya dibutuhkan waktu sekitar 45 menit. Sedangkan bila melalui perjalanan darat dibutuhkan waktu sekitar 13 jam. Huih… lama sekali ya?

Tapi, tak ada salahnya jika Anda punya banyak waktu dan ingin menikmati panorama alam yang masih asri, sederhana, dan hijau. Itu tersedia sepanjang perjalanan ke Meulaboh. Banyak tempat yang bisa Anda lihat. Keindahan pantai, pematang-pematang sawah, pinggiran hutan yang masih hijau, monyet-monyet yang berkeliaran bebas di pinggiran perkampungan, dan rehat sejenak menikmati bagusnya matahari terbit di Kota Tapak Tuan.

Tentang Tapak Tuan, daerah ini memang terkenal dengan pantai dan pemandangannya yang bagus. Daerah ini terletak sekitar 3-4 jam perjalanan lagi dari Meulaboh. Karena itu, bila ingin menikmati keindahan matahari terbitnya, mulailah perjalanan darat Anda di malam hari dari Medan. Kami juga menyempatkan diri lho menikmati panoramanya.

Hem… bila memilih perjalanan darat, Anda harus berhati-hati menyetir. Bukan saja karena jalannya yang berliku, tikungan-tikungan tajam ganda, jurang di salah satu sisi atau kedua sisi jalan, tapi juga kerbau yang bebas berkeliaran sepanjang hari. Nah, untuk yang satu ini hindarilah rem mendadak karena terlalu mengebut saat tiba-tiba satu atau dua ekor kerbau muncul di tengah jalan. Konyol sekali bila mobil menjadi penyok gara-gara menabrak kerbau.

Setelah menempuh perjalanan 15 jam, huh… sialnya kami harus menghabiskan waktu lebih dari 15 jam di jalan, pasalnya, mobil yang kami tumpangi rusak di jalan, akhirnya kami tiba di Bumi Teuku Umar ini. Untuk yang satu ini, saran kami, berhati-hatilah menyetir, jangan sembarangan menyalib dan jangan tak sabaran.

Tugu Pelor, tugu khas kota ini telah menyapa kami, ia berteriak lantang, menyerukan semangat juang Cut Nyak Dien dan Teuku Umar, mengucapkan selamat datang di Negeri di Ujung Karang. Panas matahari terasa sangat terik. Pukul 11 siang. Lelah sudah tak tertahan. Otot-otot yang tertekuk sepanjang perjalanan menuntut diluruskan, merentangkan badan, mengembalikan energi untuk berkenalan dengan kota ini.

Danau Geunang Geudong dan Makam Teuku Umar


Tak banyak yang tahu dengan daerah wisata satu ini. Berada di Desa Putim Kecamatan Kaway XVI, Danau Geunang Geudong ini menjadi terkenal sejak adanya perhelatan akbar Gampong Aneuk yang diadakan oleh salah satu lembaga perlindungan anak pada Januari lalu, yang dihadiri Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Meutia Hatta.

Geunang Geudong, artinya genangan air. Geunang dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai air yang tergenang, Geudong artinya besar atau berdinding. Geunang Geudong memang seperti cekungan raksasa, memancarkan mata melimpah hingga membentuk sebuah danau. Sebuah danau raksasa berair payau. Aneh memang karena danau ini tidak berada di pinggiran pantai tetapi berair payau. Dahulu, sekelilingnya adalah perkebunan karet.

Tak ada yang tahu persis bagaimana terjadinya danau seluas 5 kilometer ini. Ia juga tidak populer menjadi tempat wisata. Syarifah, pemilik penginapan tempat kami menginap bercerita bahwa puluhan tahun silam danau tersebut hanyalah sebuah kolam kecil. Bertahun-tahun, luasnya terus bertambah. Ia masih ingat betul, waktu kecil ia sering bermain ke sana. ”Aneh juga, luasnya terus bertambah, tapi tidak tahu apa sebabnya,” kata Syarifah. Senada dengannya, Mulyadi, salah seorang pegawai Dinas Pariwisata Aceh Barat juga mengatakan demikian. ”Dulu sekelilingnya ini adalah kebun karet rakyat,” katanya seraya menunjuk ke batas selatan Danau ini. Hamparan pohon karet terlihat di kejauhan, mencoba mengalahkan pekatnya warna air payau danau ini.
Hamzah, salah satu masyarakat di Desa Putim, punya cerita lain tentang asal usul danau ini, menurutnya dahulu kala, adalah tiga orang pawang yang datang ke daerah tersebut. Mereka kehausan. Untuk memuaskan dahaga, mereka menggali tanah untuk mendapatkan air. Saat itulah munculan mata air dari lubang-lubang tanah yang mereka gali. ”Jadilah seperti sekarang, makin luas dan makin luas,”katanya lagi.

Meski tak populer, danau yang berjarak 20 kilometer dari pusat kota Meulaboh ini, sangat menarik untuk dijadikan objek wisata. Hamparan padang rumput hijau berbukit, capung-capung yang berterbangan menantang birunya langit Meulaboh, Danau yang tenang, pemandangan yang hijau, layak untuk diperhitungkan. Sayangnya belum ada penanganan yang serius. ”Memang belum ada penanganan yang serius,” kata Mulyadi. ”Tapi kami dari dinas pariwisata melihat tempat ini sangat potensial,” tambah Mulyadi lagi.

Menurutnya, daerah-daerah yang berpotensi wisata di meulaboh dapat dikembangkan tanpa melanggar syariat Islam. Menjadikan daerah wisata di kota ini sebagai daerah wisata keluarga. ”Daerah wisata kan tidak selalu identik dengan perbuatan maksiat,” kata Mulyadi lagi. Meulaboh kaya dengan berbagai keindahan. Tarian Lanup Rampuannya, tari Saman, sampai pertunjukan cerita rakyat PMTOH yang juga sempat kami saksikan.
Tak jauh dari danau ini, di Desa Meugo Rayeuk, sekitar 35 km dari Kota Meulaboh, terdapat makam pahlawan Nasional asal Aceh, Teuku Umar. Teuku Umar Johan pahlawan gugur di Daerah Suak Ujong Kalak dan dimakamkan di desa Meugo Rayeuk, yang merupakan kawasan hutan lindung. Makam Teuku Umar ramai dikunjungi oleh wisata dan wisatawan asing sebagai tempat bersejarah. Di dalam lokasi makam Teuku Umar ini terdapat pohon besar yang mengeluarkan air tiada hentinya. Air itu bisa diminum oleh siapapun. Daerahnya sangat aman, nyaman dan sejuk dengan udara yang segar dan masih sangat alami.

Nah, menurut juru kunci di makam ini, batu yang berada di makam Teuku Umar juga manjur dijadikan obat. Tetapi hanya bila diberikan oleh penjaga kunci, merekalah yang benar-benar membutuhkan. Bila diambil sendiri, tidak akan bermanfaat.


Pantai Ujung Karang dan Suak Ribe

Ingat dengan kalimat pertama tukang cerita khas Meulaboh, Agus PMTOH yang terkenal itu? Sebuah kisah tentang negeri di Ujung Karang. Di sinilah kini kami berada. Di Pantai Ujung Karang. Tak jauh dari pusat kota, hanya 10 menit mengendarai motor. O... ya dengan modal Rp50 ribu, Anda sudah bisa menyewa sebuah beca bermotor untuk berkeliling kota Meulaboh.

Pantai yang tak kalah indahnya adalah Suak Ribe, artinya seribu sungai. Pantai di daerah ini tak lagi landai, sehingga tidak bisa dijadikan lokasi berenang. Kalau mau berenang di pinggir pantai, pilihlah Ujung Karang. Kelebihan pantai Suak Ribe ini adalah pemandangan pantai yang indah. Angin semilir segar saat Anda bersantai di cafe-cafe di pinggir pantai. Kursi ayunan, rujak, air kelapa, dan kopi tubruk khas Meulaboh siap menemani saat santai Anda.

Hem... baru kali ini saya menikmati kopi dengan cara yang aneh. Kopi terbalik. Di sini kopi tubruk disajikan dengan cara yang istimewa. Biji kopi yang ditumbuk kasar dan besar diseduh dalam sebuah gelas yang ditelungkupkan. Lalu bagaimana cara minumnya? Itu pertanyaan pertama saya saat disajikan minuman ini. Ternyata caranya cerdas dan sederhana. Sepotong sedotan disusupkan ke bagian bawah gelas yang telah ditelungkupkan, perlahan-lahan, jangan sampai tertumpah. Prinsip Fisika bermain di sini.

Bila telah berhasil, tiuplah sedotan tersebut, sampai air kopi keluar meluap ke alas gelas. Kemudian tariklah sedotan itu keluar gelas perlahan. Dan... mulailah menikmati ”kopi terbalik” Anda. Begitulah seterusnya. Rasanya? Hem... nikmat sekali. (Teks by:Eka Rehulin di terbitkan di Luxo Magazine edisi Maret 2009)

Komentar

Postingan Populer