Layang-Layang
Layang-layang itu kini kembali menghiasi lemari kaca kesayangan Yudha. Isinya sekumpulan benda-benda kenangan dari masa lalunya. Termasuk ketapel, seruling bambu, dan bermacam permainan masa kecil Yudha, yang tak bisa kusebutkan namanya.
Maklum saja, aku berasal dari generasi yang tak kenal dengan nikmatnya bermain petak umpet kala purnama tiba. Generasi yang terbiasa dengan makanan serba instant. Seperti juga halnya, Jack, putra semata wayang Yudha yang dari namanya saja kita kenal sebagai generasi McD, Nintendo, Sega, dan PS2.
Layang-layang itu sangat gagah. Bentuknya rajawali garang yang sayapnya terentang lebar. Sangat gagah menantang angin. Garis-garis sayapnya menunjukkan ia mampu terbang tinggi mengatasi hempasan angin. Membubung dan membubung tinggi. Rajawali sakti. Itu adalah layang-layang tercantik yang pernah kulihat, ya memang kuakui, itu memang satu-satunya laying-layang yang pernah kulihat. Maklum saja, aku hidup di era serba digital. Permainanku juga digital. Makanya aku sangat bersyukur bisa melihat Rajawalinya Yudha. Aku mencintai layang-layang itu.
Seperti juga Jack. Anak Yudha. Teman sekolahku di SD Nusa Bangsa.
***
Kami mencintainya sejak sebulan lalu, ketika secara tak sengaja kami melihatnya di ruang kerja Yudha. Biasalah, anak nakal, begitu Yudha menyebutnya saat ia memergoki kami mengeledah isi lemari itu.
“Dasar bocah nakal,” kelakarnya sembari menguncang lembut bahu kami.
“Ini apa, Yud,” kataku dengan mata berbinar. Aku tahu Yudha tak akan lupa dengan binar di mataku. Ia tahu betapa aku dan Jack telah mencintai layang-layang rajawali itu.
“Ha… ha… Ini rajawaliku,” tawanya pecah. Ada kesan bangga di sana… Aku pikir ia hendak berkata, “Ini cuma permainan yang ada di Zamanku.” Tapi kata-kata itu cuma ada dalam khayalanku saja.
“Ia, dad. Kami tahu itu gambar rajawali. Tapi namanya apa?” Tanya Jack.
Kami memang belum pernah melihat benda seajaib itu. Indah. Luar biasa. Warnaya cokelat berbaur hitam dan putih sempurna. Ada warna tanah menyatu selaras warna langit dan air. Mengambang seringan udara. Keseimbangan semesta.
“Aku belum pernah melihatnya Yud,” kataku.
“Ini namanya layang-layang,”
“Layang-layang?” masih aku.
“Ia… layang-layang. Melayang.”
Keningku berkerut. Kata itu menyihirku. Aku ingin melayang. Ringan, begitu ringan. Kubayangkan aku melayang. Aku ingin terbang.
“Waktu kecil aku sering bermain bersama teman di tanah lapang. Sore hari, saat hari berangin.”
Tanah lapang? Apa itu? Aku juga tak kenal. Bahasa Yudha terlalu rumit untuk anak sepertiku. Apakah ini kebiasaan? Mereka yang berasal dari masa lalu selalu berbahasa rumit. Mommy ku juga. Daddyku juga. Bahasa mereka kerap tak kumengerti. Bahasa daerah katanya. Kedengarannya aneh, seperti bukan bahasa manusia. Atau… jangan… jangan… mommy dan daddyku adalah makhluk yang diturunkan dari piring terbang raksasa nyasar. Hi… mana mungkin aku keturunan alien.
“Layang-layang ini terbuat dari bambu dan kertas. Waktu kecil kami terbiasa membuatnya sendiri. Buluh diraut, ditimbang dengan benang, kalau sudah seimbang, kami jadikan layang-layang,” cerita Yudha memecah lamunku.
“Bentuknya juga sesuka hati. Ini… asal kau tahu, aku cat sendiri,” Yudha bangga.
“Oya, umurmu berapa waktu itu?” tanyaku asal.
“Seperti kalian, 12.” Jawab Yudha.
Yudha 12 tahun dan membuat layang-layang sendiri? Memotong sendiri? Hebat! Aku ingin seperti Yudha.
“Boleh kami pinjam, Dad?” tanya Jack.
“Boleh kalian lihat. Tapi jangan dimainkan. Sudah terlalu rapuh. Kalau patah, terlalu banyak kenangan yang terbuang.”
“Ayolah, Yud,” timpalku.
“Begini saja, nanti kuajarkan kalian membuat yang baru,” tawar Yudha.
Aku dan Jack terdiam. Tidak ada layang-layang yang lain. Kami ingin layang-layang ini.
“Lagi pula untuk apa layang-layang. Tak ada tempat bermain. Tak ada tanah lapang di kota ini,” saran Yudha.
Yeah… aku tahu itu. Yudha sudah bilang tadi. Tak ada tanah lapang di kota kami. Semuanya telah dipenuhi gedung menjulang tinggi. Burung pun banyak mati menabrak gedung. Pantulan cahaya kaca-kaca pencakar langit mengacaukan navigasi burung-burung yang hendak bermigrasi. Terkutuklah pembuat gedung itu! Aku benci!
“Tak apalah sekadar tahu,” Jack ngeles.
Padahal aku tahu isi otaknya. Jalan pikiran kami tak jauh beda. Soalnya otak kami sama-sama sudah dipenuhi vetsin dan michin.
“Kita bermain bersama angin.”
Yudha mengambil benang di laci lemari itu. Benang gelasan kata Yudha. Benang ini kuat, mampu memotong benang layang-layang lawan. Dimasak dengan kaca. Ia memberi contoh memainkan layang-layang itu.
Kulihat Jack, kilatan dimatanya, aku kenal betul!
“Aow…” jerit Jack. Ada darah di jarinya yang menarik benang dari tangan Yudha.
“Makanya hati-hati, benang ini setajam kaca,” kata Yudha.
Hebat!
Tapi ia tak mengijinkan kami memegangnya lebih lama. Lemari kaca itu dikunci. Kami diusir, disuruh bermain di kolam renang (menurutku begitu), pintu kamar tempat lemari kaca itu pun dikunci. Rapat! Layang-layang itu menjadi rahasia. Layang-layang itu menjadi obsesi.
Kulirik Jack, mata kami bertemu. Dan itu adalah bahasa isyarat universal, tak perlu vocal dan suara. Artinya telah kami pahami sama-sama. “Kita curi layang-layang Yudha. Diam… diam…!”
***
Yudha mematung memandang layang-layang itu. Kini ia kembali berada di lemari kaca setelah seminggu hilang entah kemana. Ia sibuk mencarinya. Tak ada yang tahu. Tapi aku tahu dan tak mau bilang. Soalnya ia pelit. Biarkan ia sibuk mencari. Ha… ha… tawaku. Kami telah menang!
Hei… jangan tuduh aku yang telah mencurinya! Enak saja! Yudha juga pikir begitu. Menurutnya aku yang paling tertarik. Ia salah dan tahu kebenarannya hari ini. Hari dimana kini ia berdiri mematung di depan lemari kaca itu. Menatap layang-layang.
Yudha tahu, aku tak salah, ia tak salah, layang-layang itu juga tak salah kalau hari ini Jack mati. Ya… Jack mati. Mati mengerikan. Ia terlindas bus saat berlarian di pinggiran jalan raya kota.
Bermain layang-layang.
Ya… Jack lah pencuri layang-layang itu.
Aku mana mungkin!
Hari ini Yudha menemukan layang-layang rajawali kami tersangkut di jendela kantornya, di lantai 20 gedung pencakar langit. Rajawali kami mendarat di sana setelah leong. Saat Jack tergilas bus.
Ada duka di mata Yudha. Tidak itu bukan saja duka, tapi luka dan dendam. Dendam pada kota yang telah merampas hak anak-anak macam kami.
Ia tak menyalahkan layang-layang kami. Rajawali kami memang tak salah. Kota inilah yang salah. Tak ada tanah lapang. Tak ada tempat bermain. Generasi kamu cuma tahu bermain PS di kamar atau bermain di kolam renang. Anak-anak seperti Akbar, yang tinggal di bantaran sungai, hanya bisa bermain di air keruh tai dan kotoran.
Kota ini yang salah! Dimana keadilan terhadap anak-anak?
“Tak ada tanah lapang disini,” bisiknya pilu. Tak ada kata lain. Ia pergi meninggalkanku sendiri. Menatap layang-layang di lemari kaca.
***
Sudah kubilang aku generasi instant. Tak sabaran.
Aku juga ingin bermain layang-layang. Tak apa tak ada tanah lapang. Kuambil rajawaliku. Ia mengajakku terbang. Sesuatu memanggilku, tanganku membuka pintu lemari kaca itu. Aku membawanya berlari ke jalanan, kesetanan. Aku benci kota ini.
Aku berlari di jalanan sambil berteriak.
“Kenapa tak ada tanah lapang?”
Nyaring, lantam, garang, segarang rajawaliku.
Berharap pembuat gedung pencakar itu mendengar.
Citttt…… Buammm….. Tiba-tiba nanar.
Kini aku melayang. Layang-layang. Aku jadi layang-layang. Melayang-layang seringan kapas. Tanpa arah, tanpa tujuan. Tak ada benang gelasan yang menjadi kendaliku. Tak ada hentakan yang bisa membatasi gerakku. Aku melayang. Jadi layang-layang. Leong. Benangku patah.
Sudah kubilang aku generasi instant. Aku melayang.
Kubayangkan jadi layang-layang. Tapi aku tak bisa. Sebab aku dari era digital. Aku melayang. Tapi bukan layang-layang. Ah… mungkinkah mommy dan daddyku diturunkan dari sebuah piring terbang? Aku melayang. “Apakah aku telah menjadi sebuah UFO?” Sudah kubilang, aku memang generasi instant.
Tapi tak lupa kutuliskan pesan di layang-layangku:
“Jangan salahkan layang-layang!
Ia hanya perlu tanah lapang.”
Tertanda: Jack dan Joe
Medan, 02 Desember 2008
(Eka Rehulin, penikmat sastra/Diterbitkan di buletin Sorak)
Maklum saja, aku berasal dari generasi yang tak kenal dengan nikmatnya bermain petak umpet kala purnama tiba. Generasi yang terbiasa dengan makanan serba instant. Seperti juga halnya, Jack, putra semata wayang Yudha yang dari namanya saja kita kenal sebagai generasi McD, Nintendo, Sega, dan PS2.
Layang-layang itu sangat gagah. Bentuknya rajawali garang yang sayapnya terentang lebar. Sangat gagah menantang angin. Garis-garis sayapnya menunjukkan ia mampu terbang tinggi mengatasi hempasan angin. Membubung dan membubung tinggi. Rajawali sakti. Itu adalah layang-layang tercantik yang pernah kulihat, ya memang kuakui, itu memang satu-satunya laying-layang yang pernah kulihat. Maklum saja, aku hidup di era serba digital. Permainanku juga digital. Makanya aku sangat bersyukur bisa melihat Rajawalinya Yudha. Aku mencintai layang-layang itu.
Seperti juga Jack. Anak Yudha. Teman sekolahku di SD Nusa Bangsa.
***
Kami mencintainya sejak sebulan lalu, ketika secara tak sengaja kami melihatnya di ruang kerja Yudha. Biasalah, anak nakal, begitu Yudha menyebutnya saat ia memergoki kami mengeledah isi lemari itu.
“Dasar bocah nakal,” kelakarnya sembari menguncang lembut bahu kami.
“Ini apa, Yud,” kataku dengan mata berbinar. Aku tahu Yudha tak akan lupa dengan binar di mataku. Ia tahu betapa aku dan Jack telah mencintai layang-layang rajawali itu.
“Ha… ha… Ini rajawaliku,” tawanya pecah. Ada kesan bangga di sana… Aku pikir ia hendak berkata, “Ini cuma permainan yang ada di Zamanku.” Tapi kata-kata itu cuma ada dalam khayalanku saja.
“Ia, dad. Kami tahu itu gambar rajawali. Tapi namanya apa?” Tanya Jack.
Kami memang belum pernah melihat benda seajaib itu. Indah. Luar biasa. Warnaya cokelat berbaur hitam dan putih sempurna. Ada warna tanah menyatu selaras warna langit dan air. Mengambang seringan udara. Keseimbangan semesta.
“Aku belum pernah melihatnya Yud,” kataku.
“Ini namanya layang-layang,”
“Layang-layang?” masih aku.
“Ia… layang-layang. Melayang.”
Keningku berkerut. Kata itu menyihirku. Aku ingin melayang. Ringan, begitu ringan. Kubayangkan aku melayang. Aku ingin terbang.
“Waktu kecil aku sering bermain bersama teman di tanah lapang. Sore hari, saat hari berangin.”
Tanah lapang? Apa itu? Aku juga tak kenal. Bahasa Yudha terlalu rumit untuk anak sepertiku. Apakah ini kebiasaan? Mereka yang berasal dari masa lalu selalu berbahasa rumit. Mommy ku juga. Daddyku juga. Bahasa mereka kerap tak kumengerti. Bahasa daerah katanya. Kedengarannya aneh, seperti bukan bahasa manusia. Atau… jangan… jangan… mommy dan daddyku adalah makhluk yang diturunkan dari piring terbang raksasa nyasar. Hi… mana mungkin aku keturunan alien.
“Layang-layang ini terbuat dari bambu dan kertas. Waktu kecil kami terbiasa membuatnya sendiri. Buluh diraut, ditimbang dengan benang, kalau sudah seimbang, kami jadikan layang-layang,” cerita Yudha memecah lamunku.
“Bentuknya juga sesuka hati. Ini… asal kau tahu, aku cat sendiri,” Yudha bangga.
“Oya, umurmu berapa waktu itu?” tanyaku asal.
“Seperti kalian, 12.” Jawab Yudha.
Yudha 12 tahun dan membuat layang-layang sendiri? Memotong sendiri? Hebat! Aku ingin seperti Yudha.
“Boleh kami pinjam, Dad?” tanya Jack.
“Boleh kalian lihat. Tapi jangan dimainkan. Sudah terlalu rapuh. Kalau patah, terlalu banyak kenangan yang terbuang.”
“Ayolah, Yud,” timpalku.
“Begini saja, nanti kuajarkan kalian membuat yang baru,” tawar Yudha.
Aku dan Jack terdiam. Tidak ada layang-layang yang lain. Kami ingin layang-layang ini.
“Lagi pula untuk apa layang-layang. Tak ada tempat bermain. Tak ada tanah lapang di kota ini,” saran Yudha.
Yeah… aku tahu itu. Yudha sudah bilang tadi. Tak ada tanah lapang di kota kami. Semuanya telah dipenuhi gedung menjulang tinggi. Burung pun banyak mati menabrak gedung. Pantulan cahaya kaca-kaca pencakar langit mengacaukan navigasi burung-burung yang hendak bermigrasi. Terkutuklah pembuat gedung itu! Aku benci!
“Tak apalah sekadar tahu,” Jack ngeles.
Padahal aku tahu isi otaknya. Jalan pikiran kami tak jauh beda. Soalnya otak kami sama-sama sudah dipenuhi vetsin dan michin.
“Kita bermain bersama angin.”
Yudha mengambil benang di laci lemari itu. Benang gelasan kata Yudha. Benang ini kuat, mampu memotong benang layang-layang lawan. Dimasak dengan kaca. Ia memberi contoh memainkan layang-layang itu.
Kulihat Jack, kilatan dimatanya, aku kenal betul!
“Aow…” jerit Jack. Ada darah di jarinya yang menarik benang dari tangan Yudha.
“Makanya hati-hati, benang ini setajam kaca,” kata Yudha.
Hebat!
Tapi ia tak mengijinkan kami memegangnya lebih lama. Lemari kaca itu dikunci. Kami diusir, disuruh bermain di kolam renang (menurutku begitu), pintu kamar tempat lemari kaca itu pun dikunci. Rapat! Layang-layang itu menjadi rahasia. Layang-layang itu menjadi obsesi.
Kulirik Jack, mata kami bertemu. Dan itu adalah bahasa isyarat universal, tak perlu vocal dan suara. Artinya telah kami pahami sama-sama. “Kita curi layang-layang Yudha. Diam… diam…!”
***
Yudha mematung memandang layang-layang itu. Kini ia kembali berada di lemari kaca setelah seminggu hilang entah kemana. Ia sibuk mencarinya. Tak ada yang tahu. Tapi aku tahu dan tak mau bilang. Soalnya ia pelit. Biarkan ia sibuk mencari. Ha… ha… tawaku. Kami telah menang!
Hei… jangan tuduh aku yang telah mencurinya! Enak saja! Yudha juga pikir begitu. Menurutnya aku yang paling tertarik. Ia salah dan tahu kebenarannya hari ini. Hari dimana kini ia berdiri mematung di depan lemari kaca itu. Menatap layang-layang.
Yudha tahu, aku tak salah, ia tak salah, layang-layang itu juga tak salah kalau hari ini Jack mati. Ya… Jack mati. Mati mengerikan. Ia terlindas bus saat berlarian di pinggiran jalan raya kota.
Bermain layang-layang.
Ya… Jack lah pencuri layang-layang itu.
Aku mana mungkin!
Hari ini Yudha menemukan layang-layang rajawali kami tersangkut di jendela kantornya, di lantai 20 gedung pencakar langit. Rajawali kami mendarat di sana setelah leong. Saat Jack tergilas bus.
Ada duka di mata Yudha. Tidak itu bukan saja duka, tapi luka dan dendam. Dendam pada kota yang telah merampas hak anak-anak macam kami.
Ia tak menyalahkan layang-layang kami. Rajawali kami memang tak salah. Kota inilah yang salah. Tak ada tanah lapang. Tak ada tempat bermain. Generasi kamu cuma tahu bermain PS di kamar atau bermain di kolam renang. Anak-anak seperti Akbar, yang tinggal di bantaran sungai, hanya bisa bermain di air keruh tai dan kotoran.
Kota ini yang salah! Dimana keadilan terhadap anak-anak?
“Tak ada tanah lapang disini,” bisiknya pilu. Tak ada kata lain. Ia pergi meninggalkanku sendiri. Menatap layang-layang di lemari kaca.
***
Sudah kubilang aku generasi instant. Tak sabaran.
Aku juga ingin bermain layang-layang. Tak apa tak ada tanah lapang. Kuambil rajawaliku. Ia mengajakku terbang. Sesuatu memanggilku, tanganku membuka pintu lemari kaca itu. Aku membawanya berlari ke jalanan, kesetanan. Aku benci kota ini.
Aku berlari di jalanan sambil berteriak.
“Kenapa tak ada tanah lapang?”
Nyaring, lantam, garang, segarang rajawaliku.
Berharap pembuat gedung pencakar itu mendengar.
Citttt…… Buammm….. Tiba-tiba nanar.
Kini aku melayang. Layang-layang. Aku jadi layang-layang. Melayang-layang seringan kapas. Tanpa arah, tanpa tujuan. Tak ada benang gelasan yang menjadi kendaliku. Tak ada hentakan yang bisa membatasi gerakku. Aku melayang. Jadi layang-layang. Leong. Benangku patah.
Sudah kubilang aku generasi instant. Aku melayang.
Kubayangkan jadi layang-layang. Tapi aku tak bisa. Sebab aku dari era digital. Aku melayang. Tapi bukan layang-layang. Ah… mungkinkah mommy dan daddyku diturunkan dari sebuah piring terbang? Aku melayang. “Apakah aku telah menjadi sebuah UFO?” Sudah kubilang, aku memang generasi instant.
Tapi tak lupa kutuliskan pesan di layang-layangku:
“Jangan salahkan layang-layang!
Ia hanya perlu tanah lapang.”
Tertanda: Jack dan Joe
Medan, 02 Desember 2008
(Eka Rehulin, penikmat sastra/Diterbitkan di buletin Sorak)
Komentar
Posting Komentar