Dr. Sarmedi Purba dan dr. Gertrud Breuckl, Cinta Bersemi di Pesta Dansa
Kisah cinta lelaki Batak dengan perempuan Jerman ini dimulai sekitar 39 tahun silam. Saat itu, Sarmedi Purba sudah menamatkan pendidikan dokternya dan sudah bekerja di Rumah Sakit Wermeslkirchen. Pertemuan mereka juga sangat unik.
Hari itu saat sedang duduk santai di kamar tinggalnya di rumah sakit itu, tiba-tiba salah seorang dokter senior memanggilnya untuk segera datang ke kamar bersalin. Mendengar ada pasien yang akan segera melahirkan Sarmedi segera ke sana.
Tak dinyana, sesampainya di dekat kamar bersalin, ia melihat para dokter sedang bersenda gurau dan tertawa di ruang istirahat bidan. Mengertilah ia, bahwa ia sedang dikerjai. Pria yang sangat beruntung! Tidak ada persalinan hari itu, yang ada adalah pesta kecil menikmati anggur panen yang dibawa Albert Mosel, salah seorang rekannya.
Duduk di tengah acara minum aggur tersebut, seorang dokter muda yang sedang menjalani pendidikan dokter spesialis neurologi dan psikiatri, Gertrud. Gadis Jerman itu mempersilahkan Sarmedi duduk di sebelahnya. Tidak ada perasaan istimewa saat itu, tidak Gertrud, tidak juga Sarmedi.
Waktu pun berlalu, hingga beberapa bulan kemudian, waktu membawa mereka kembali dalam sebuah pertemuan. Pesta dansa untuk para dokter. Sarmedi dan Gertrud juga ada di sana, mereka bertemu kembali. Kali ini, Sarmedi menangkap sesuatu yang berbeda pada Gertrud. Benih kagum yang selanjutnya terus dipupuk Sarmedi. Gertrud adalah sosok sederhana yang tenang namun menarik.
Perempuan yang dilahirkan sebagai Gertrud Brueckl pada 19 Mei 1942 ini telah merebut hati Sarmedi. Pertemanan yang mereka jalin akhirnya menumbuhkan benih cinta. Juga pada hati Gertrud terhadap lelaki kelahiran 13 Agustus 1938 ini. Cinta tumbuh di pesta dansa.
Beberapa bulan kemudian, 3 Agustus 1971, Sarmedi melamar Gertrud. Gertrud tidak menolak. Ia juga kagum kepada Sarmedi yang cerdas dan menyenangkan. Di matanya, pemuda asing ini mempunyai nilai tambah. Ia pandai bergaul, menyesuaikan diri, dan menyelesaikan pendidikan di daerah dengan bahasa yang berbeda dengan bahasa ibunya.
Mundur ke Abad Lampau Demi Cinta
Apa yang paling menyentuh hati dalam sebuah hubungan kalau bukan pengorbanan? Pengorbanan adalah wujud cinta yang paling dalam. Itulah yang diberikan Gertrud kepada kekasihnya, Sarmedi Purba. Setelah merayakan pernikahan mereka di sebuah restoran dekat gereja, empat tahun kemudian, 1975, Sarmedi pulang ke tanah air. Selama 6 bulan ia meninggalkan isteri dan dua putrinya di Jerman.
Sarmedi pulang untuk mengabdi di tanah air. Memenuhi janji pulang bila telah menamatkan pendidikan. Ia ingat pesan bapaknya, jika ia menikahi gadis Jerman, ia harus memilih perempuan yang bisa mencintai tanah kelahiran Sarmedi dan leluhurnya. Pertanyaan yang sama jugalah yang ia ajukan saat melamar Gertrud.
Karena itu, 6 bulan kemudian, Gertrud dan kedua anaknya menyusul Sarmedi ke Indonesia. Tujuannya bukan kota besar seperti Jakarta atau Medan. Jauh panggang dengan api. Ia datang untuk tinggal di kota kecil dan terpencil di bagian kecil Sumatera Utara, Seribu Dolok. Gertrud sudah tahu itu. Suaminya terikat kontrak dengan GKPI (Gereja Kristen Protestan Indonesia) yang telah memberinya beasiswa dan terikat batin untuk memajukan daerah asalnya. Mereka kembali untuk mengabdi.
Gertrud jugalah yang meyakinkan Sarmedi untuk kembali ke desa yang telah mengantarnya ke Jerman itu. Sebagai psikiater, ia sadar betul suaminya tidak akan bisa merasa nyaman bila terus tinggal di Jerman. “Saya akan coba tinggal. Tapi bila saya tidak betah, kita kembali ke Jerman ya,” kata Gertrud menirukan ucapannya waktu itu. Hanya karena cintalah ia rela melakukannya.
Maret 1976, Gertrud menuju Seribu Dolok. Desa kecil yang pada masa itu masih sangat tertinggal. Anak mereka Christina masih berusia 4 tahun waktu itu dan Tatiana putri kedua mereka baru saja pulih dari radang tulang.
Christina, putri pertama mereka sangat syok begitu tiba di Seribu Dolok. Rumah mereka begitu sederhana, belum ada pasokan listrik yang tetap. Bahkan karena keterbatasan dana dari rumah sakit, genset hanya dinyalakan pada malam hari saja. Christina juga selalu bertanya,”Mama mengapa kita tinggal di tempat jelek seperti ini, anak-anaknya juga berpakaian jelek dan kotor?” Tapi lagi-lagi Gertrud berusaha menenangkan anaknya, bahwa semua akan baik-baik saja dan mereka akan terbiasa. “Nur ruhig, allies wird gurden,” kata Gertrud.
Setelah 39 Tahun Menikah
Kini, setelah 39 tahun menikah, pernikahan mereka kian manis. Yang ada adalah saling pengertian. Menjadi pasangan kakek dan nenek dengan 3 orang anak dan 4 orang cucu yang lucu-lucu. Menjadi rekan kerja yang sepadan, pendamping hidup yang selalu mendukung, dan tempat berbagi yang selalu ada. Bersama Gertrud, Sarmedi membenahi desanya, berkeliling kampung memberikan penyuluhan, membangun rumah sakit Vita Insani, dan melakukan berbagai pekerjaan membangun lainnya.
“Tidak lagi saling memaksakan kehendak, tidak lagi banyak bertengkar,” lanjut Gertrud. Sarmedi Purba merasa beruntung dengan pernikahannya. “What a wonderful life…” katanya.
Komentar
Posting Komentar