Menyoal Marga
Hari ini, sebuah pertanyaan datang dari seorang teman. Tentang
marga yang tak saya cantumkan di akun sosial media saya. Seorang teman yang
baru saja berkenalan dengan saya, dengan alasan kesopanan dan ketidaktahuan
marga saya, secara aman memilih memanggil saya sebagai turang (panggilan kepada
saudara antara lelaki dan perempuan).
Dari percakapan singkat tersebut, seorang teman yang lain,
mengatakan, dengan sedikit menyindir, bahwa saya dengan “kegeneralan” saya
sebagai orang Indonesia merasa tidak penting untuk meletakkan marga tersebut
sebagai embel-embel nama belakang.
Dari percakapan singkat ini, sepanjang perjalanan
pulang, saya mulai berfikir. Apakah perlu
saya meletakkan marga di bagian akhir nama saya? Jawabannya tentu hanya dua,
menambahkannya atau membiarkannya tetap seperti yang sekarang.
Dengan pertimbangan untuk tidak membingungkan sistem sapaan
antar sesama suku karo, saya terpikirkan untuk menambahkannya. Di sisi lain,
saya mulai berfikir, seberapa penting saya menambahkannya. Kalau sekadar untuk
sistem sapa, apa itu cukup esensial untuk menambahkannya?
Kenapa saya harus menambahkannya sedang selama ini saya
tidak mempermasalahkannya tanpa memungkiri kalau saya adalah orang Karo. Marga itu
tetap melekat di diri saya. Saya tetap Tarigan. Saya dengan percaya diri akan
tetap bilang kalau saya adalah Tarigan. Adakah alasan yang lebih mendasar.
Saya juga tidak mau tergesa-gesa untuk memutuskan
menambahkanya. Terlalu labil juga kalau saya terburu-buru.
Selama ini, saya merasa tidak terlalu penting melekatkannya
pada nama, bukan karena saya tidak bangga dengan itu. Hanya saja, saya tidak
kepikiran, saya juga tidak ingin mengkotak-kotakkan. Rasanya marga sering kali
identik dengan nepotisme. Entahlah, meskipun tanpa embel-embel marga, nepotisme
bisa muncul dengan banyak cara. Bahkan sekadar karena satu kampung atau satu
agama. Ada banyak penanda identitas yang bisa mengikat kuat antara satu dengan
yang lainnya. Itu adalah alamiah sikap dalam bersosialisasi. Ah... tidak usah
dipermasalahkan soal ini.
Dan saya memutuskan, membiarkannya seperti yang ada
sekarang. Setidaknya sampai saya menemukan alasan yang lebih mendasar ketimbang
untuk mempermudah cara kami saling menyapa. Kupikir seperti itu. Saya memutuskan sambil mencari pertimbangan. Mungkin
besok saya menemukan alasan yang lain.
Komentar
Posting Komentar