Bromo: 12-12-12
Ketika
mimpi begitu dekat! Saya memeluk Tara!
Memeluk mimpi di Bromo, terima kasih Tuhan, semesta, dan AirAsia. |
Apa yang kamu rasakan ketika sebuah tempat impian yang kamu pupuk sejak berumur delapan tahun terbentang di hadapanmu? Apalagi yang kamu harapkan saat itu selain langsung berada di sana, menikmatinya segera dan memeluk segala yang ingin kamu peluk, menghirup udara yang ingin kamu hirup, berlari sejauh kamu suka, dan melompat setinggi yang kamu inginkan.
Sebut saya pemimpi!
Tapi memang begitu adanya. Saya memimpikan
berada di Puncak Bromo sejak berumur 8
tahun. Di sana, saya ingin berjabat
tangan dengan Suku Tengger, melihat secara langsung garis wajah dan lengkung
alis mereka, juga bertemu dengan Tara. Teman masa kecil saya. Seorang sahabat
yang tinggal di negeri atas awan di mana pasir bisa berbisik sangat lembut. Tara
kecil yang sederhana, lugu, anak desa yang suka bercerita. Tentang apa saja. Tentang
negerinya, tentang sukunya, tentang masyarakat dan budayanya. Tentang semua
yang saya suka. Ah Tara... sejak pertama bertemu, saya tau, saya sudah jatuh cinta.
Sebut saja saya pemimpi!
Tak apa. Sejak kecil saya memang sangat ingin
kesana. Berlari-lari di pasirnya yang hitam keputihan berkilau. Berteriak dari
puncaknya dan menatap kawah mengepul asap belerang. Saya ingin bertemu Tara.
Sahabat kecil yang saya kenal sejak masa belia, anak suku Tengger yang
menikmati ngilunya cuaca.
Mengejar matahari terbit di Penanjakan |
Tahun-tahun banyak sudah berlalu. Setahun, dua tahun, sepuluh tahun, Tara terkadang terlupakan. Meskipun saya terus menabung mimpi. Lalu, ketika beranjak semakin dewasa, saya tau, saya tak perlu mencari Tara. Kami tak mungkin bertemu.
Tapi keinginan menginjakkan kaki ke Bromo ternyata tidak pernah menghilang. Ibarat perasan sagu, ia telah mengendap sampai ke dasar. Telah mengendap ke keinginan bawah sadar sebagai sebuah impian. Bromo adalah salah satu tempat yang ada dalam bucket list yang harus saya kunjungi.
Maka, ketika izin cuti dengan tiket promo AirAsia bersambut, rasanya saya memenangkan sebuah lotere. Hey, saya 28 tahun dan saya memimpikan Bromo sejak 8 tahun... Saya
telah menabung mimpi sebanyak 20 tahun...
Iya... saya sudah di Bromo. :) |
Bukit Teletubbies, Pasir Berbisik, Penanjakan, dan Puncak Bromo, sudah ada dalam list perjalanan kali ini. Bersama 3 orang teman, kami menunaikan ‘ibadah’ mimpi ke Bromo. Meskipun buat mereka mungkin tidak sesakral itu. Bagi saya, IYA!
Kami menginap di Hotel Sion di Cemoro Lawang.
Hotelnya bersih, harganya terjangkau, dan view-nya
menarik. Pukul 3 pagi, kami telah dibangunkan suara gaduh Mas Ucup, sang
pemandu yang mengetuk pintu, mengingatkan segera bersiap-siap berangkat
mengejar matahari di Penanjakan. Ah... ini momen yang sangat saya nantikan.
Berada di salah satu ketinggian Bromo dan menatap matahari terbit dari sana.
Mas Ucup bilang, “Ke Penanjakan perjalanannya nggak terlalu sulit, kalaupun kamu naik kuda, bolehlah untuk
menikmati sensasinya, tapi toh kamu musti tetap jalan kaki menaiki tangganya.
Kuda nggak bisa naik ke sana.” Saya
percaya, saya memang tak ingin naik kuda. Saya ingin menikmati tiap jengkal
tanah Bromo di bawah kaki saya, merasakan tubuh saya yang kedinginan menjadi
hangat karena berjalan.
Menumpang mobil jeep putih yang memberi kesan
gagah, misi mengejar matahari kami dimulai. Dan Mas Ucup tak sepenuhnya benar,
perjalanan ke Penanjakan, meskipun tak sulit sesungguhnya tidaklah mudah. Tapi saya
terlajur jatuh cinta. Apa lagi yang perlu diragukan dari seseorang yang jatuh
cinta? Tak ada kata lelah bukan? Saya pun demikian. Saya memang jatuh cinta,
tapi bukan pada Mas Ucup. Saya jatuh cinta pada Bromo dan perjalanan.
He-he-he...
Mobil jeep yang kami tumpangi menuju Penanjakan |
Subuh itu, di dalam perjalanan menapak penanjakan, saya melihat ribuan bintang di langit telanjang. Saling berlomba mencuri perhatian. Tapi satu yang paling memenangkan hati. Bintang jatuh. Saya menemukan dia. Kami berkenalan lewat hati. Tapi ternyata nggak cuma saya, Sarah teman saya juga melihatnya. Mata kami bersiborok. Kami lalu tertawa dan menyimpan apapun yang kami ucapkan dalam hati saat melihat bintang jatuh itu. Kami beruntung? Kami lebih dari itu. Kami diberkati. Juga oleh selengkung senyum dua perempuan tua suku Tengger yang kami temui pagi itu. J
Selesai memuaskan hati dihangatkan matahari di
penanjakan, kami mengejar embun di Bukit Teletubbies. Kata Mas Ucup, jangan
terlalu siang biar titik-titik embun masih basah di rumput. Saya sangat
menikmati berjalan melintasi pasir. Di mana-mana pasir. Samudera pasir maha
luas. Jeep kami melintas di tengah-tengahnya, menjadi benda asing di tengah
koloni pasir. Kami asing di keluasan semesta pasir.
Lalu, saat tiba di Bukit Teletubbies, semuanya
hijau. Saya serasa muda. Semuda rumput yang baru tumbuh. Saya menjadi
kekanakan. Berlari melintasi jalanan setapaknya. Berlari sekuat tenaga sampai
nafas hampir habis. Paru-paru terasa kosong tergantikan udara baru. Di sini ada
kelahiran. Kelahiran dari sebuah keinginan. Tempat ini indah, saya serasa
berada di sebuah negeri bernama entah.
Berjalan menuju Puncak Bromo |
Kami kemudian melanjutkan perjalanan. Di pintu gerbang, puluhan bapak penuntun kuda sudah siap menawarkan jasa. Ah, mereka lelaki Suku Tengger yang selama ini ingin saya jabat tangannya. Tapi saya dan teman-teman sedang tak ingin naik kuda. Kami ingin menjajal ketangguhan kaki melawan gravitasi dan liatnya pasir menarik kaki. Kami ingin menguji diri. Ha-ha-ha... Seberapa jauh berjalan, kami tak peduli. Juga pada godaan bapak penjual jasa naik kuda yang terus menguntit dari belakang dengan harga sewa yang terus semakin berkurang, seolah-olah mau bilang, “Udah, Dek. Kau pasti nggak sanggup!” Huh, dasar si Bapak, saya malah jadi pengen membuktikan kalau saya kuat melawan pasir, gravitasi, juga tubuh yang protes bilang capek!
Bromo, sebuah mimpi dari ingatan masa kecil |
Dan... tak cukup kata selamat yang musti kalian ucap saat kami dengan gemilang berdiri di Puncak Bromo. Sebuah pelukan kebahagiaan sudah mewakili semuanya. Saya berada di sana. Menginjakkan kaki di tanah Tara. Tepat di sebuah tanggal yang sangat istimewa. Tanggal yang hanya akan saya alami sekali seumur hidup, 12-12-12. Tepat 12 tengah hari. Berteriak ke kawahnya, menikmati hangatnya nafas Tara menghembus pipi saya. Saya bertemu Tara, teman kecil, yang dikenalkan Bapak saat saya berumur delapan tahun dari sebuah buku cerita, Tara Anak Tengger. Saya tengah memeluk Tara. Di dalam diri saya. Saya cuma bisa memejamkan mata, menengok kembali ke masa kecil, mengingat almarhum bapak yang telah megenalkan Tara. Air mata saya jatuh, jatuh membalut kenangan, jatuh menjadi pasir, ditiup angin, terbang ke kayangan, menjelma kebahagiaan.
Dan kalau ada yang bercerita soal Bromo, saya akan bilang, “I was there,” sambil tersenyum penuh makna. Perjalanan mengingatkan saya untuk terus memeluk erat setiap mimpi. Terima kasih AirAsia. :’)
*Tulisan ini mengikuti Kompetisi Blog 10 Tahun AirAsia Indonesia
sungguh indah pemandangan di Bromo...semoga aku bisa sampai ke sana satu saat nanti...semoga!!!
BalasHapusIya memang indah, Bang. Semoga bisa segera kesana ya. :D
Hapusaku selalu dihipno oleh tulisan si kakak ini, selalu berhasil membelai lembut imajinasiku yang penuh sawang, lama tidak dipupuk maka kotorlah imajinasi.
BalasHapuspengenku ke bromo juga bareng kakak, bareng semua suka cita itu, dipoto itu, aku cemburu aku mau, aku mau pergi kesana juga dan juga
Hehehe Makasih Ga. Aku juga masih mau kesana. Tapi liat waktu baiknya dulu. (waktu dan dana juga maksudnya. Hehehe)
HapusWuehehehe.. kirain nggak ikutan. Aku baru posting tulisan di hari terakhir. Mudah2an kita semua juara..hihih
BalasHapusHhahaha iya Bang, Ikutan, tapi biasalah lomba kayak gini, menang adalah bonus. :D
Hapus