Kampung Madras, Sejarah Kecil Kota Medan
Bila setiap kota harus memiliki sebuah landmark, maka tak diragukan lagi, kawasan ini bisa jadi menjadi landmark kota Medan. Kampung Keling. Banyak sejarah kota Medan terjadi di sini. Ia menjadi dan bukti peradaban yang pernah terbangun pada masanya.
Medan memang diwarnai indahnya budaya berbagai etnis yang menempatinya. Tidak hanya etnis asli Indonesia, tetapi juga berbagai etnis pendatang seperti India, Tionghoa, dan Arab yang telah bermukim di Indonesia sejak berabad silam yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dengan kota ini. Kampung Keling adalah contoh konkret keindahan itu.
Keliling Kampung Keling
Kalau Anda sedang berlibur di kota Medan, Anda perlu tahu tentang tempat menarik ini. Sepintas lalupun seharusnya Anda sudah tahu, ada cerita yang ingin disampaikan atmosfernya, bangunan-bangunannya dan keseluruhan utuh kawasan ini kepada Anda.
Bila Anda adalah warga kota Medan yang telah terbiasa hingga menjadi tak ambil pusing dengan pesan itu, berhentilah sejenak. Coba nikmati dan dengarkan pesan yang ingin disampaikannya. Pesan yang mungkin akan Anda rindukan ketika sedang berada di daerah lain. Inilah yang disebut Rika sebagai ingatan kolektif dan ruh sebuah kenangan. Bersiaplah untuk berkeliling kota Medan di seputaran kawasan Zainul Arifin ini.
Sebelum kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, rasa India di kawasan ini tercermin dari nama-nama jalan yang sampai kini beberapa di antaranya masih digunakan. Dahulu nama Jalan Kalkuta, Jalan Bombay, jalan Nagapatam, Jalan Ceylon, Jalan Madras bisa ditemukan di seputaran kawasan ini. Sekarang nama-nama itu sudah berganti beberapa. Tetapi nama-nama seperti Kelurahan Madras, Jalan PJ Nehru, Muara Takus, Candi Biara, Gajah Mada, Maja Pahit, Taruma, Candi Prambanan, Candi Borobudur, Majapahit yang semuanya masih bernuansa Hindu.
Di Kampung Keling ini puluhan bangunan tua khas zaman kolonial Belanda masih bisa ditemukan di sini. Bangunan-bangunan ini adalah bangunan bersejarah peninggalan masa keemasan tembakau deli. Di kawasan inilah dahulu masyarakat India tinggal dan bermukim. Sekarang tak banyak memang lagi waraga keturunan India yang tinggal di sana. Karena tekanan ekonomi kelompok masyarakat inipun banyak yang “tergusur” ke pinggiran. Sekarang populasi terbesar mereka berada di Kampung Angrung dan Kampung Kubur, di sekitar kawasan Jalan Monginsidi, Medan.
Namun bila Anda berjalan kaki di kawasan ini Anda masih bisa menemukan toko-toko kepunyaan etnis India yang berlokasi di daerah yang membuat jalan Zainul Arifin, jalan utama daerah ini terlihat layaknya sebuah jalan di India sendiri. Di kawasan ini kita bisa menemukan Toko Bombay yang menjual aneka sari India, Toko Kasturi yang menjual berbagai kebutuhan bahan makanan India, perlengkapan makan, kecantikan, sembahyang, dan berbagi kebutuhan lainnya.
Ada juga restoran-restoran yang menyajikan makanan khas India seperti Restoran Cahaya Baru, De Deli Dar Bar, dan Restoran Bollywood. Ada juga toko-toko yang menjual makanan kecil dan manisan khas India, laundy dan penjahit India, serta yang paling mendominasi, warung kecil penjual martabak India. Bangunan-bangunan yang sangat kental nuansa Indianya adalah kuil-kuil yang terdapat di Kampung Keling. Kuil Shri Mariaman dan Kuil Subramaniem adalah 2 kuil terbesar yang ada di kawasan ini. Kuil Shri Mariaman adalah kuil India yang dibangun pada tahun 1881. Bangunan megahnya dihiasi puluhan patung dewa khas India yang konon kabarnya didatangkan langsung dari India. Selain itu dahulu terdapat Sekolah Khalsa yang pada masanya adalah satu-satunya sekolah yang menggunkan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya.
Salah satu bangunan menarik lain di tempat ini adalah adanya masjid Ghaudiyah. Keberadaan bangunan ini menjadi satu bukti lagi kerukunan keberagaman masyarakatnya. Masjid ini terletak di jalan Zainul Arifin. Dibangun oleh perkumpulan etnis India Selatan yang beragam Islam, South Indian Muslims Foundation pada tahun 1887. Oleh Sultan Deli yayasan ini diberi dua lokasi untuk membangun masjid. Di. Jalan Kejaksaan untuk dibangun masjid, dan di jalan Zainul Arifin untuk masjid dan perkuburan. Pada zaman dahulu, masjid Ghaudiyah sangat terkenal dengan arsitektur bergaya India yang kental. Hanya dari gerbangnya saja, orang-orang akan langsung menduga bahwa itu adalah masjid bergaya India. Dengan halaman yang luas dan dua kolam untuk mengambil air untuk sembahyang, mesjid ini tampak sangat megah. Sayangnya pada tahun 1962, gerbang dan kolamnya harus diruntuhkan demi pelebaran jalan Zainul Arifin. Sekarang letak masjid ini tersembunyi di balik gedung-gedung yang menutupinya.
Kampung Keling atau Kampung Madras?
Bila seorang ibu meminta pengendara beca bermotor, salah satu angkutan umum di kota Medan, untuk mengantarkannya ke Kampung Keling, tanpa tending aling-aling, beca bermotor itu akan meluncur ke satu kawasan di jantung kota Medan. Kendaraan akan segera diarahkan ke daerah sekitar 800 meter dari jalan utama Gajah Mada. Tak perlu ada pertanyaan “Di daerah manakah Kampung Keling itu?” Seperti itulah Narain Sami, Ketua perkumpulan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Sumatera Utara mengambarkan betapa melekatnya nama perkampungan itu dalam kesadaran kolektif masyarakat kota Medan.
Kampung Keling ini adalah jantung kebudayaan India di Medan. Warga kota Medan mengenal kampung ini dengan nama Kampung Keling walaupun kecamatannya bernama Madras. Selama beberapa dekade, Kampung Keling dikenal sebagai pemukiman masyarakat etnis India Tamil di Medan. Mereka berkumpul di daerah sekitar jalan Zainul Arifin. Meskipun pemerintah kota Medan telah resmi mengubah nama Kampung ini menjadi Kampung Madras -karena keling berkonotasi dengan kulit gelap dan menimbulkan keberatan sebagaian masyarakat India setempat- areal seluas sekitar 10 hektar ini tetap dikenal sebagai Kampung Keling.
Permasalahan nama ini juga menimbulkan perbedaan pendapat. Sebagian menyatakan keberatan atas nama Kampung Keling, sebagian lagi merasa nama Kampung Keling sudah sangat melekat dan historical. R. Welayutham misalnya. Ia merasa keberatan dengan nama Kampung Keling . “Saya lebih setuju bila disebut sebagai Kampung Madras. Kata Keling itu berkonotasi penghinaan. Karena pada dasarnya tidak ada asal kata Keling itu. Kalau dibilang dari kata Kalingga, enggak juga. Sukunya pun tidak ada di India,” komentar salah satu pendeta Hindu di Kuil Shri Mariaman ini.
Walau tidak berkeberatan dengan nama Kampung Keling, Kasturi, pemilik Toko Kasturi yang menjual berbagai kebutuhan bahan makanan, peralatan makan, peralatan sembahyang khusus India, ia mengaku lebih suka menyebutnya Kampung Madras. “Bukan masalah keling yang berkonotasi dengan kulit gelap ya, tapi kan namanya sudah diubah dan itu dulu berjuang untuk merubah namanya. Jadi pakai yang sah aja,” kata gadis cantik keturunan India ini.
Narain Sami justru tidak sepakat dengan pergantian nama tersebut. “Itu sebuah identitas. Kenapa harus malu? Saya justru merasa bangga. Siapa orang Medan yang tidak tahu Kampung Keling? Etnis mana pula yang ada nama kampungnya seperti Kampung keling di kota Medan ini?” katanya. Rika Susanto, Sekretaris Badan Warisan Sumatera (BWS) menilai perubahan nama itu akan menghilangkan spirit of place sebuah kawasan bersejarah. “Nama itu sudah begitu melekat. Perubahan akan menimbulkan kesan yang berbeda. Kampung keling tetaplah Kampung Keling dengan suasananya yang tetap begitu. Kalau misalnya tidak ada lagi keturunan Tamil yang jualan martabak misalnya, tempat itu akan kehilangan spiritnya,” kata Rika.
Datangnya India ke Medan
Bangsa India, terutama Tamil datang ke Sumatera Utara pada akhir abad ke-19 semasa penjajahan Belanda. Mereka mengadu nasib dengan menjadi kuli perkebunan. Dalam catatan Badan WArisan Sumatera (BWS), rombongan pertama orang Tamil yang datang ke Medan sebanyak 25 pada tahun 1873.
Mereka dipekerjakan oleh Nienhuys, seorang Belanda pengusaha perkebunan tembakau, yang nantinya dikenal sebagai tembakau Deli. Tembakau yang membuat tanah Deli menjadi termasyur di dunia internasional. Hingga pada akhirnya dikenal sebagi “Tanah Sejuta Dollar” Setelah itu, semakin banyak saja para buruh dan tenaga-tenaga kerja yang didatangkan dari India untuk bekerja di Tanah Deli entah sebagai buruh perkebunan, supir, penjaga malam, sais kereta lembu, dan membangun jalan serta waduk. “Itu karena kaum Tamil terkenal sebagai pekerja keras yang patuh kepada atasannya,” kata Narain Sami. Hingga akhir 1975 jumlah kuli Jawa dan Tamil mencapai seribu orang.
Selain para kuli kontrak yang datang melalui Penang atau Singapura mereka datang juga melalui bangsa India lain. Seperti dari Punjab, India Utara yang pada umumnya menganut agama Sikh, Bombay, dan bangsa Chettyar yang pintar berbisnis. Mereka tidak bekerja sebagai kuli di perkebunan, melainkan membuka usaha sendiri dan bekerja di sektor lain.
Saat Belanda membuka cabang De Jawasche Bank di Medan, sejumlah Sikh dipekerjakan sebagai penjaga pada tahun 1879. Melihat situasi dan kesempatan ekonomi di kota Medan, beberapa malah membuka usaha peternakan lembu karena meningkatnya permintaan pasokan susu dari Belanda. Banyak yang berhasil di usaha ini hingga sekarang pun masyarakat keturunan India terkenal sebagai produsen susu sapi murni. Pada akhir tahun 1930, penganut Sikh di Medan mencapai 5 ribu orang.
Ada banyak istilah yang digunakan untuk memanggil warga keturunan India ini. Ada yang memanggil dengan istilah keling atau chulia yang biasanya diguanakan untuk memanggil keturunan Tamil. Selain itu ada juga istilah Benggali untuk menyebut mereka yang sesungguhnya penganut Sikh. Di luar itu, masyarakat umum memakai istilah orang bombai.
Saat ini, keturunan India yang ada di Medan bukanlah mereka yang datang langsung dari India. Mereka adalah generasi ketiga atau keempat dari pendatang awal yang kebanyakan menolak disebut sebagai bangsa India karena memang sudah lahir di Indonesia dan menjadi warga Negara Indonesia. Seeprti halnya Kasturi. “Kebudayaan saya memang india, tapi saya orang Indonesia,” katanya mantap.
Land Mark Kota Medan
Bila setiap kota harus memiliki sebuah landmark, maka tak diragukan lagi, kawasan ini bisa jadi menjadi landmark kota Medan. Kampung Keling. Banyak sejarah kota Medan terjadi di sini. Ia menjadi dan bukti peradaban yang pernah terbangun pada masanya.
Kampung Keling menurut Rika Susanto, artsitek dan pengurus BWS adalah konstruksi bangunan dengan susunan dan batas-batas kota yang sangat jelas. Batas-batas wilayahnya sangat terdeliniasi dengan teratur. Di satu sisinya jalan Zainul Arifin dan Jalan Diponegoro dibatasi oleh bangunan-bangunan. Sementara di sisi yang lain jalan S. Parman dan Gajah Mada di tandai oleh batas alam, Sungai Deli.
“Blok-blok kota yang ada di perkampungan ini juga sangat menarik. Khas Inggris seperti juga fifth avenue di Inggris. Orang enggak akan bisa nyasar di Kampung Keling,” kata Rika. Tata kota yang menarik ini menurut Rika membuat Kampung Keling cocok dijadikan sebagai land mark kota Medan. Sebagai tempat wisata yang ramah untuk pejalan kaki. Selain memiliki nilai sejarah yang panjang, bangunan-bangunan yang unik, masih banyak hal-hal menarik lain yang ada di Kampung Keling. Sejarah peradaban dan perkembangan kota Medan. (Eka Dalanta Rehulina)
Komentar
Posting Komentar