Ini Indonesia?
Dari mana ditakar nilai keindonesiaan kita? Apakah dari bahasa yang kita gunakan? Atau dari nama yang melekat di diri kita. Seperti nama saya misalnya, bagi masyarakat sesuku saya, sangat mudah menilai bahwa saya adalah bagian dari mereka hanya dengan mengandalkan nama saja. Lalu apakah nilai keindonesiaan kita dinilai dari itu? Saya pikir tidak! Lalu apa keindonesiaan itu?
Yang paling pantas disebut dengan Keindonesiaan adalah sesuatu yang melekat dalam pikiran saat menyebutkan Indonesia. Sesuatu yang muncul dalam pikiran saat menyebut Indonesia. Buat saya, Indonesia selalu muncul sebagai negeri yang kaya raya bertanah subur dengan hasil alam yang melimpah. Seperti yang biasa saya terima sejak di bangku sekolah dasar. Perjalanan saya ke beberapa bagian kecil Indonesia mengukuhkannya. Dalam setiap perjalanan saya saya selalu bertemu dengan keindahan, pemandangan tropis yang selalu membuat saya berdecak kagum. Keanekaragaman budaya, keramahannya, kesediaannya menolong yang itu selalu bergandengan dengan ironi. Di dekatnya, kemiskinan selalu melekat.
Saya memang tidak lahir sebagai anak orang kaya. Saya akrab dengan dunia pasar dan keseharian masyarakat awam. Tapi saya masih bisa bersekolah hingga tingkat universitas -walau untuk itu mesti membuat keluarga dan diri sendiri sedikit ngos-ngosan- bisa makan tiga kali sehari, bisa sesekali hang out dengan teman di kafe, bisa membaca buku dan mengoleksi buku kesukaan, bahkan sesekali bisa travelling.
Dan perjalanan kali ini, membuat saya tersentak. Ini Indonesia? Benarkah ini masih Indonesia? Di belahan manakah ia dalam peta kesejahteraan yang digaung-gaungkan itu? Apa ini sudah ada yang tahu? Atau memang sengaja tutup mata? Kenapa pembangunan tidak merata. Kata-kata itu terus menghantui pikiran. Mencoba mencari kepastian, membangunkan diri dari mimpi buruk sebuah realitas tetang Indonesia.
Hari itu, saya bertugas sebagai penulis skrip untuk video profil sebuah lembaga swadaya masyarakat di Sumatera Utara. Bersama dengan dua orang pendamping dari yayasan, saya dan dua orang rekan kerja lainnya berangkat menuju sebuah desa kecil di Kecamatan Sibolangit, Sumatera Utara. Desa Laja namanya
“Di mana itu bang?” tanya saya pada salah satu staf. “Ah, kau juga belum pernah kemari,” kata teman yang lain protes pada saya karena tidak tahu tempatnya. “Orang Karo juga tidak semua tahu ya?” Sindirnya lagi.
“Ah… tak usah dibahas lah, bang seberapa jauhnya. Nanti jadi enggak selera berangkat dan mual sebelum sampai,” kata staf yayasan yang lain sambil bercanda. Dalam pikirian, saya hanya membayangkan rute perjalanan yang hanya jauh.
“Sekitar 3 jam lah, tapi kita harus naik motor trail,” lanjutnya lagi. Bayangan terburuk saya ternyata hanya separuh dari kenyataan perjalanan sesungguhnya.
Berbekal 5 nasi bungkus, minuman botol, rasa percaya diri, mengendarai 3 sepeda motor kami menuju lokasi tujuan. Meninggalkan jalan besar Jamin Ginting kami memasuki perkampungan masyarakat Karo di Simpang Pasar Baru, Sibolangit. Melewati jalanan Desa Rumah Kinangkung. Jalanan beraspal sudah habis. Jalanan tanah sudah menyambut di depan. 300 meter kemudian, jalanan tanah sudah habis diganti jalanan tanah basah dan licin kemudian berganti dengan jalanan berlumpur. Walah… apa ini? Butuh tenaga ekstra agar motor tidak terhalang jalannya.
Saya yang berada dalam boncengan harus selalu berpegangan erat. Gila… saya tidak akan berani mengendarai motor di jalanan seperti itu. Di kiri atau kanan jalan –bergantian- jurang dalam dan dangkal siap menampung. Sementara itu jalanan berlumpur terkadang berbelok menurun dan menukik tajam ke atas diganti jalanan berbatu besar dan berserpih. Beberapa kali saya harus turun dan berjalan kaki demi keamanan.
Celana jeans saya sudah digulung ke atas agar nyaman. Sepatu kets saya sudah tidak jelas lagi bentuknya. Bercampur tanah lembek dan rumput kering. Kepala saya panas didera angin gerah siang. Teman saya Anto dan Onny, harus merelakan sandal gunungnya yang tak kuat menarik gravitasi dari lumpur. Sesekali motor harus didorong atau diangkat. Sekali kami melihat ular melintas mencoba menyambut perjalanan kami. Sembari tak lupa juga kami menikmati keindahan alam. Pengobat lelah dan penat. Menghirup hijau klorofil dan keluasan semesta. Saya merasa kerdil di tengah alam begini.
Kami melewati beberapa perkampungan. Kami telah masuk ke dalam hutan tropis. Saat beristirahat setelah setengah perjalanan sebuah pemandangan membuat saya tidak bisa tidur malamnya. Dua bocah kecil berjalan akrab di tengah hutan itu. Mereka mengenakan seragam putih merah. Baru pulang sekolah. Sebuah kantong plastik menjadi wadah penyimpan buku-buku. Seragam putih itu telah terkena lumpur, rok dan celana merah itu telah berubah warna. Tidak ada alas kaki. Kaki-kaki mungil itu penuh lumpur dan bersisik.
Perjalanan mereka ke sekolah membutuhkan waktu 2 jam berjalan kaki. Mereka telah melewati jalanan yang kami lalui tadi. Juga melewati sungai yang kami lalui atau jalan potong lain yang sama saja. Namun bagi mereka itu sudah menjadi keseharian dan tak perlu diperdebatkan apalagi dikeluhkan. Sambil berjalan mereka bisa mencari buah hutan, serangga hutan, bermain rumput, mencari belalang atau capung.
Tapi hati kecil saya sulit menerima. “Ya… Tuhan… Terima kasih buat hari ini. Saya bisa melihat dari dekat, belajar banyak dari mereka, dan menjejakkan kaki pada bumi.” Kesadaran yang tumbuh. Dan hati kecil saya masih terus bertanya, “Di bagian mana Indonesia lagi yang seperti ini?”
Setibanya di Desa Laja, kami disambut dengan suguhan buah durian dan duku. Rasa lelah masih tersisa. Tapi saya menyerap banyak hal, termasuk gotong-royong memperbaiki sumber air bersih di sungai yang terkena longsor, tanpa pamrih demi kepentingan bersama. Inilah Indonesia yang sesungguhnya.
Namun begitu tidak terbayangkan bila harus tinggal di sana. Lain ceritanya kawan jika saya memang sedang ingin trekking ke dalam hutan. Untuk tinggal di sebuah tempat seperti itu, saya berdoa, “Tuhan, jangan, ku mohon!.” Satu hal lagi yang akan terus saya ingat, seberapa berjelagapun kemiskinan itu, miskin nurani adalah yang paling hina.
Yang paling pantas disebut dengan Keindonesiaan adalah sesuatu yang melekat dalam pikiran saat menyebutkan Indonesia. Sesuatu yang muncul dalam pikiran saat menyebut Indonesia. Buat saya, Indonesia selalu muncul sebagai negeri yang kaya raya bertanah subur dengan hasil alam yang melimpah. Seperti yang biasa saya terima sejak di bangku sekolah dasar. Perjalanan saya ke beberapa bagian kecil Indonesia mengukuhkannya. Dalam setiap perjalanan saya saya selalu bertemu dengan keindahan, pemandangan tropis yang selalu membuat saya berdecak kagum. Keanekaragaman budaya, keramahannya, kesediaannya menolong yang itu selalu bergandengan dengan ironi. Di dekatnya, kemiskinan selalu melekat.
Saya memang tidak lahir sebagai anak orang kaya. Saya akrab dengan dunia pasar dan keseharian masyarakat awam. Tapi saya masih bisa bersekolah hingga tingkat universitas -walau untuk itu mesti membuat keluarga dan diri sendiri sedikit ngos-ngosan- bisa makan tiga kali sehari, bisa sesekali hang out dengan teman di kafe, bisa membaca buku dan mengoleksi buku kesukaan, bahkan sesekali bisa travelling.
Dan perjalanan kali ini, membuat saya tersentak. Ini Indonesia? Benarkah ini masih Indonesia? Di belahan manakah ia dalam peta kesejahteraan yang digaung-gaungkan itu? Apa ini sudah ada yang tahu? Atau memang sengaja tutup mata? Kenapa pembangunan tidak merata. Kata-kata itu terus menghantui pikiran. Mencoba mencari kepastian, membangunkan diri dari mimpi buruk sebuah realitas tetang Indonesia.
Hari itu, saya bertugas sebagai penulis skrip untuk video profil sebuah lembaga swadaya masyarakat di Sumatera Utara. Bersama dengan dua orang pendamping dari yayasan, saya dan dua orang rekan kerja lainnya berangkat menuju sebuah desa kecil di Kecamatan Sibolangit, Sumatera Utara. Desa Laja namanya
“Di mana itu bang?” tanya saya pada salah satu staf. “Ah, kau juga belum pernah kemari,” kata teman yang lain protes pada saya karena tidak tahu tempatnya. “Orang Karo juga tidak semua tahu ya?” Sindirnya lagi.
“Ah… tak usah dibahas lah, bang seberapa jauhnya. Nanti jadi enggak selera berangkat dan mual sebelum sampai,” kata staf yayasan yang lain sambil bercanda. Dalam pikirian, saya hanya membayangkan rute perjalanan yang hanya jauh.
“Sekitar 3 jam lah, tapi kita harus naik motor trail,” lanjutnya lagi. Bayangan terburuk saya ternyata hanya separuh dari kenyataan perjalanan sesungguhnya.
Berbekal 5 nasi bungkus, minuman botol, rasa percaya diri, mengendarai 3 sepeda motor kami menuju lokasi tujuan. Meninggalkan jalan besar Jamin Ginting kami memasuki perkampungan masyarakat Karo di Simpang Pasar Baru, Sibolangit. Melewati jalanan Desa Rumah Kinangkung. Jalanan beraspal sudah habis. Jalanan tanah sudah menyambut di depan. 300 meter kemudian, jalanan tanah sudah habis diganti jalanan tanah basah dan licin kemudian berganti dengan jalanan berlumpur. Walah… apa ini? Butuh tenaga ekstra agar motor tidak terhalang jalannya.
Saya yang berada dalam boncengan harus selalu berpegangan erat. Gila… saya tidak akan berani mengendarai motor di jalanan seperti itu. Di kiri atau kanan jalan –bergantian- jurang dalam dan dangkal siap menampung. Sementara itu jalanan berlumpur terkadang berbelok menurun dan menukik tajam ke atas diganti jalanan berbatu besar dan berserpih. Beberapa kali saya harus turun dan berjalan kaki demi keamanan.
Celana jeans saya sudah digulung ke atas agar nyaman. Sepatu kets saya sudah tidak jelas lagi bentuknya. Bercampur tanah lembek dan rumput kering. Kepala saya panas didera angin gerah siang. Teman saya Anto dan Onny, harus merelakan sandal gunungnya yang tak kuat menarik gravitasi dari lumpur. Sesekali motor harus didorong atau diangkat. Sekali kami melihat ular melintas mencoba menyambut perjalanan kami. Sembari tak lupa juga kami menikmati keindahan alam. Pengobat lelah dan penat. Menghirup hijau klorofil dan keluasan semesta. Saya merasa kerdil di tengah alam begini.
Kami melewati beberapa perkampungan. Kami telah masuk ke dalam hutan tropis. Saat beristirahat setelah setengah perjalanan sebuah pemandangan membuat saya tidak bisa tidur malamnya. Dua bocah kecil berjalan akrab di tengah hutan itu. Mereka mengenakan seragam putih merah. Baru pulang sekolah. Sebuah kantong plastik menjadi wadah penyimpan buku-buku. Seragam putih itu telah terkena lumpur, rok dan celana merah itu telah berubah warna. Tidak ada alas kaki. Kaki-kaki mungil itu penuh lumpur dan bersisik.
Perjalanan mereka ke sekolah membutuhkan waktu 2 jam berjalan kaki. Mereka telah melewati jalanan yang kami lalui tadi. Juga melewati sungai yang kami lalui atau jalan potong lain yang sama saja. Namun bagi mereka itu sudah menjadi keseharian dan tak perlu diperdebatkan apalagi dikeluhkan. Sambil berjalan mereka bisa mencari buah hutan, serangga hutan, bermain rumput, mencari belalang atau capung.
Tapi hati kecil saya sulit menerima. “Ya… Tuhan… Terima kasih buat hari ini. Saya bisa melihat dari dekat, belajar banyak dari mereka, dan menjejakkan kaki pada bumi.” Kesadaran yang tumbuh. Dan hati kecil saya masih terus bertanya, “Di bagian mana Indonesia lagi yang seperti ini?”
Setibanya di Desa Laja, kami disambut dengan suguhan buah durian dan duku. Rasa lelah masih tersisa. Tapi saya menyerap banyak hal, termasuk gotong-royong memperbaiki sumber air bersih di sungai yang terkena longsor, tanpa pamrih demi kepentingan bersama. Inilah Indonesia yang sesungguhnya.
Namun begitu tidak terbayangkan bila harus tinggal di sana. Lain ceritanya kawan jika saya memang sedang ingin trekking ke dalam hutan. Untuk tinggal di sebuah tempat seperti itu, saya berdoa, “Tuhan, jangan, ku mohon!.” Satu hal lagi yang akan terus saya ingat, seberapa berjelagapun kemiskinan itu, miskin nurani adalah yang paling hina.
Komentar
Posting Komentar