Malaikat Kecil di Suatu Sore
Banyak pertemuan yang terjadi. Entah itu berarti atau tidak sama sekali. Mungkin sekadar mewarnai hidup tanpa mempengaruhi hari esok atau lusa. Seperti pertemuanku hari ini.
Hari ini luar biasa indah. Walaupun di luar hujan turun deras, membuat langit gelap dan cuaca tak bersahabat. Melihat cuaca, mungkin harusnya aku tak menganggap hari ini indah.
Tapi kali ini lain. Perasaanku penuh. Anak itu begitu manis. Gio, itu namanya. Aku tahu karena berkali-kali ia menyebut namanya, dan berkali-kali pula lelaki tampan yang datang bersamanya memanggil namanya. Lelaki tampan itu memanggilnya abang Gio. Anak manis. Tapi ia memintaku memanggilnya Kiki. Jadi kupanggil ia Kiki.
Akankah kami bertemu lagi? Dan... bila saat itu tiba, apakah kami masih saling mengenal?
Ah... mata itu... Betapa cepat kami menjadi akrab. Hanya dalam hitungan menit yang tak lebih dari jari satu tangan. 3 menit itu kami bercerita. Ia bertanya aku sedang apa, apa yang sedang aku minum, kenapa kopi warnanya pekat, apa kopi terbuat dari serangga semacam kecoa? Aku tertawa. Kalau dari kecoa tentu aku tak mau minum minuman menjijikkan seperti itu. Bukankah kecoa itu menjijikkan kataku. “Tidak tante, kecoa itu lucu,” jawabnya jenaka.
Tapi ia harus segera pergi, tak lama setelah pesanan kakak lelakinya, oh tidak, mungkin saja papanya, mungkin juga omnya, sudah selesai. Kiki masih menempel di bangku di dekatku. Melihat apa yang kutulis saat lelaki itu memanggil namanya, “Gio, ayo... pulang. Maaf mbak, dia mengganggu ya?” katanya sambil menarik Kiki. Aku hanya tersenyum menjawab tak apa dan melanjutkan menulis. Kiki pulang dan melambaikan tangan berkali-kali.
Ketika lelaki tampan yang bersamanya menuntun tangannya keluar dari AW, dalam jarak 3 meter dari tempat dudukku, ia membalikkan badan. Wajah imutnya tersenyum, suara cemprengnya berusaha memberi sapaan terakhir. “Halo...” katanya sambil melambaikan tangan. “Kok halo,” kataku pelan sambil membalas lambaian tangannya. Apa itu punya makna lain. Insting anak kecil. Mungkin ini awal saja.
Aku menatapnya, memberikan senyuman termanis pagi itu. Hatiku penuh.
Lagi ia tersenyum,melambaikan tangan sekali lagi. Matanya begitu indah. Bahkan saat pintu kaca terbuka membawa tubuh kecilnya menjauh, dari balik pintu sekali lagi ia menoleh ke belakang. Memberiku lagi sebuah senyuman. Kulambaikan tangan. “Halo,” kataku dalam hati.
Lelaki tampan yang bersamanya kulihat merasa sangat sungkan. Ditariknya Kiki.
Aku tahu aku terlalu berpikir banyak. Kiki pergi. Orang yang kutunggu tak juga datang. Untung ada Kiki. 3 senyumannya di pagi ini membuatku bahagia. Tuhan memberkatimu malaikat kecil. Entah kita akan bertemu atau tidak, sekali ini sosokmu menyihirku. Kau sudah lekat dalam kenangan. Aku menyimpannya di sini, di hatiku. Mesti sekali pertemuan kita, di AW yang juga kali pertama aku duduk manis di sini.
Sepertinya aku juga harus berterima kasih pada hujan. Hujan yang membawa malaikat kecil itu. Satu alasan lagi kenapa aku tak bisa membenci hujan. Aku ingin mandi hujan. Mem beri ragaku pada anugerah dari langit.
Hari ini luar biasa indah. Walaupun di luar hujan turun deras, membuat langit gelap dan cuaca tak bersahabat. Melihat cuaca, mungkin harusnya aku tak menganggap hari ini indah.
Tapi kali ini lain. Perasaanku penuh. Anak itu begitu manis. Gio, itu namanya. Aku tahu karena berkali-kali ia menyebut namanya, dan berkali-kali pula lelaki tampan yang datang bersamanya memanggil namanya. Lelaki tampan itu memanggilnya abang Gio. Anak manis. Tapi ia memintaku memanggilnya Kiki. Jadi kupanggil ia Kiki.
Akankah kami bertemu lagi? Dan... bila saat itu tiba, apakah kami masih saling mengenal?
Ah... mata itu... Betapa cepat kami menjadi akrab. Hanya dalam hitungan menit yang tak lebih dari jari satu tangan. 3 menit itu kami bercerita. Ia bertanya aku sedang apa, apa yang sedang aku minum, kenapa kopi warnanya pekat, apa kopi terbuat dari serangga semacam kecoa? Aku tertawa. Kalau dari kecoa tentu aku tak mau minum minuman menjijikkan seperti itu. Bukankah kecoa itu menjijikkan kataku. “Tidak tante, kecoa itu lucu,” jawabnya jenaka.
Tapi ia harus segera pergi, tak lama setelah pesanan kakak lelakinya, oh tidak, mungkin saja papanya, mungkin juga omnya, sudah selesai. Kiki masih menempel di bangku di dekatku. Melihat apa yang kutulis saat lelaki itu memanggil namanya, “Gio, ayo... pulang. Maaf mbak, dia mengganggu ya?” katanya sambil menarik Kiki. Aku hanya tersenyum menjawab tak apa dan melanjutkan menulis. Kiki pulang dan melambaikan tangan berkali-kali.
Ketika lelaki tampan yang bersamanya menuntun tangannya keluar dari AW, dalam jarak 3 meter dari tempat dudukku, ia membalikkan badan. Wajah imutnya tersenyum, suara cemprengnya berusaha memberi sapaan terakhir. “Halo...” katanya sambil melambaikan tangan. “Kok halo,” kataku pelan sambil membalas lambaian tangannya. Apa itu punya makna lain. Insting anak kecil. Mungkin ini awal saja.
Aku menatapnya, memberikan senyuman termanis pagi itu. Hatiku penuh.
Lagi ia tersenyum,melambaikan tangan sekali lagi. Matanya begitu indah. Bahkan saat pintu kaca terbuka membawa tubuh kecilnya menjauh, dari balik pintu sekali lagi ia menoleh ke belakang. Memberiku lagi sebuah senyuman. Kulambaikan tangan. “Halo,” kataku dalam hati.
Lelaki tampan yang bersamanya kulihat merasa sangat sungkan. Ditariknya Kiki.
Aku tahu aku terlalu berpikir banyak. Kiki pergi. Orang yang kutunggu tak juga datang. Untung ada Kiki. 3 senyumannya di pagi ini membuatku bahagia. Tuhan memberkatimu malaikat kecil. Entah kita akan bertemu atau tidak, sekali ini sosokmu menyihirku. Kau sudah lekat dalam kenangan. Aku menyimpannya di sini, di hatiku. Mesti sekali pertemuan kita, di AW yang juga kali pertama aku duduk manis di sini.
Sepertinya aku juga harus berterima kasih pada hujan. Hujan yang membawa malaikat kecil itu. Satu alasan lagi kenapa aku tak bisa membenci hujan. Aku ingin mandi hujan. Mem beri ragaku pada anugerah dari langit.
iya,aku selalu senang melihat anak2. lucu segala2nya.. ekspresi,tingkah,senyum,kata2nya..
BalasHapusMbak Klaudya, anak kecil mengemaskan dan akan selalu begitu.
BalasHapus