Sebulan di Jawa
Semarang
Sesuai dengan tanggal yang tertera pada tiket pesawat kelas ekonomi yang harganya selangit abis waktu itu, kami berangkat ke Pulau Jawa.
Berdua, aku dan Nande (ibu dalam bahasa Karo) menuju Semarang. Kota yang telah (mungkin 7 tahun) menjadi pilihan tinggal kakak tertuaku. Kakakku akan melangsungkan pernikahan bulan itu. Kami datang untuk merayakannya bersama-sama.
Dari Medan kami tidak banyak, hanya enam orang mewakili seluruh kaum kerabat dan keluarga. Nande selaku orang tua (bapak kami tak lagi punya), abangku satu-satunya dan Eda (istri abang) mewakili Kalimbubu atau Hula-hula, dua orang Bibi atau tante adik Bapak sebagai anak beru (boru), dan aku. Aku sebagai adik termuda tersayang. Hehe…
Empat orang lagi datang menyusul seminggu kemudian. Aku dan nande berangkat lebih awal mempersiapakan acara lamaran dan persiapan awal lainnya. Zaman sekarang semua orang serba sibuk. Jadi tak pantas rasanya melibatkan “orang lain” untuk waktu yang terlalu lama. Satu minggu saja tante menyempatkan waktu untuk acara pemberkatan, resepsi, dan lain-lain sudah sangat luar biasa.
Menghadiri pernikahan kakak adalah tujuan utama kami kali ini. Ini adalah pertemuan langsung kami setelah tiga tahun terakhir tidak pernah bertatap muka secara langsung. Kakak pulang ke Medan terakhir tiga tahun lalu saat menghadiri pernikahan kakak keduaku. Setelah itu komunikasi lebih banyak lewat jaringan telepon dan email.
Setibanya di bandara, kami telah ditunggu. Tidak hanya berdua, kakak dan calon abang ipar, tapi juga ada sepupu Mas Agung, nama calon abang iparku, juga Bu Lek dan Pak Lek Mas Agung. Pertemuan perdana antar dua keluarga. Keluarga Tarigan dan Keluarga Wijonarko.
Kuceritakan sedikit tentang kedua calon mempelai ini. Latar belakang budaya mereka berdua sangat jauh berbeda. Yang perempuan, kakak tertuaku, lahir dan dibesarkan di lingkungan berbudaya Batak. Temperamennya keras, berpendirian kuat, tegas, tak kenal kompromi, namun juga bisa sangat lembut dan toleran. Itu sifat dasar kakak yang sejak dari dulu sudah terlihat. Ia tidak akan segan membantah Bapak jika ia yakin berada di pihak benar. Ia juga tidak akan takut mempertahankan kebenaran yang diyakininya dengan konsekuensi apapun. Termasuk melawan.
Kakakku cantik. Pembawaannya lembut dan keibuan. Walaupun orang bilang kami sangat mirip, seperti kembar, warna kulit kami tak sama. Warna kulitku gelap sementara ia berkulit cerah. Wataknya memang lebih keras tapi ia terkesan lembut. Sangat berbeda dengan aku yang kelihatan berani, serampangan, tak rapi, terkadang ceroboh namun juga sangat lemah dan labil dalam hal prinsip. Yang jelas, meskipun terlahir dari rahim yang sama dengan wajah yang kata orang mirip, karakter kami sangat berbeda.
Tentang Mas Agung, calon abang iparku, perawakannya tinggi kurus. Dari cara bicaranya yang sangat medok Jawa, tahulah kita bahwa ia lahir dan dibesarkan dalam budaya Jawa. Ia asli Banjar Negara. Kota kecil di lingkungan kaki Gunung Salak. Kulitnya sama gelap sepertiku. Gambaran tentangnya tidak jauh berbeda dengan banyak cerita dan foto-foto yang telah dikirim kakakku jauh-jauh hari sebelumnya.
Ia tidak pemalu. Sangat ramah dan menyenangkan. Ia bisa disebut manis. Seperti kata Bapak Pendeta Susanto sewaktu acara pemberkatan, karakter Mas Agung dan Kak Idha saling mengisi. Berbeda dengan kakak yang dibesarkan dalam lingkungan Batak, Mas Agung lembut pembawaannya, lembut bicaranya, dan manut orangnya. Ia tidak bersikukuh seperti kakak. Tapi bukan berarti ia tidak berprinsip. Sifat mereka ini nyatanya memang saling mengisi.
Hari itu, hari ketika kami bertemu adalah pertemuan pertama Mas Agung dengan Nande, calon mertuanya. Iseng, pagi hari sebelum berangkat, kuintinp sebentar status Mas Agung di Facebook. Ada komentarnya di sana, “Iya ni, hari ini bakal deg-degan. Soalnya mau ketemu calon mertua.” He…he… aku senyum-senyum aja membacanya. Sembari sedikit geli membayangkan pertemuan keluarga Wijonarko dengan logat khas Jawanya dan Nande dengan logat Karo.
Pertemuan itu memang tak jauh dari bayanganku. Ada bahasa tubuh yang berusaha sama-sama memaklumi untuk memahami maksud lawan bicara. Nande yang sangat Karo sekali, sesekali mengeluarkan kosa kata khas Medan. Aku dan kakak hanya saling melirik, saling melempar senyum menikmati komunikasi lintas budaya ini. Mas Agung juga begitu. Terkadang kami bertiga terbahak mendengarkan percakapan mereka.
Bapak dan Ibu Wijonarko cepat akrab dengan Nande. Mereka seperti menikmati kelucuan cara bicara masing-masing.
Komitmen
Khotbah yang disampaikan Bapak Pendeta tentang komitmen pernikahan. Pernikahan adalah komitmen seumur hidup. Aku setuju dan masih tetap akan setuju. Ranah ini adalah ranah sakral yang musti dijaga. Pernikahan bukan ajang kawin cerai. Buat yang tidak setuju, tidak apa-apa. Mau kawin cerai juga terserah.
Ia memberikan ilustrasi menarik tentang komitmen pernikahan. Tentang dua sahabat. Seekor ayam dan seekor babi. Suatu hari, kedua sahabat ini mendapatkan tawaran bisnis yang sangat menarik dari seorang pengusaha. Ayam yang bertemu langsung dan bercerita dengan calon klien. Tak tanggung-tanggung, tawaran calon klien ini sangat menggiurkan. Keuntungan yang diperoleh sangat besar. Harga yang ditawarkan juga sangat menguntungkan. Si ayam alangkah gembiranya. Tak sabar menunggu dengar pendapat babi, ia menandatangani kontrak kerja sama.
Isinya, permintaan suplai telur ayam dan daging babi dengan harga 10 kali lipat harga pasar. Berapa saja pun habis. Wow… siapa yang tak tertarik.
Tak sabar, si ayam segera menemui sahabatnya, si Babi.
“Bro, senang amat. Kasi tau dulu kenapa?” tanya si Babi waktu melihat di Ayam datang.
“Enggak sabar ini bro, kita bakal kaya. Barusan aku dapat orderan harga 10x lipat harga pasar. Kita akan untung besar,” kata Ayam antusias.
“Wah kok bisa?” tanya Babi.
Ayampun menjelaskan bahwa baru saja ia dan babi akan mengisi orderan daging babi dan telur ayam setiap hari dalam jumlah sesuai kemampuan suplai mereka dengan harga selangit. Belum selesai si ayam berbicara, si Babi langsung angkat suara. “Eits… tunggu dulu bro, jangan asal tanda tangan kontrak aja. Enak di ente enggak enak di ane. Ente si enak aja. Cuma sumbangan. Kalo aku mana bisa begitu,” protes Babi.
“Lho kok, maksudnya apa. Ini kesempatan emas,” kata ayam.
“Lho gimana, mikir dong bro. Jangan ambil keputusan gitu aja. Kalau kau mau ya silahkan. Kau si enak cuma sumbang telur aja. Kalau aku, enggak! Enggak bisa. Ini komitmen seumur hidup bro. Ini menyangkut hidup saya. Kalau saya setuju itu menyangkut seumur hidup saya. Hidup mati saya. Saya harus berkomitmen,” jawab Babi tegas.
Seperti itulah Bapak Pendeta menggambarkan komitmen dalam pernikahan. Pernikahan adalah komitmen seumur hidup. Bukan sekadar sumbangan telur seperti ayam. Bukan sumbangan sprema saja atau sel telur saja untuk kehidupan. Bukan permasalahan menafkahi doang.
Fotografer Dadakan
Setelah acara pemberkatan dan resepsi, aku bersama dengan kedua pengantin dan seorang abang angkat bermarga Tarigan dan isterinya berkeliling kota dengan mobil pengantin. Mengabadikan momen-momen awal setelah acara pesta pernikahan. Aku jadi fotografer wedding dadakan, sementara Bang Yus dan isteri menjadi pengarah gaya. Lucu juga.
Tempat yang kami tuju adalah Pantai Marina, taman rekreasi di pinggir pantai. Kita bisa menghirup segarnya udara pantai dan memandang laut lepas. Lokasinya berada di sebelah timur PRPP atau perumahan Royal Family. Patung elang cukup besar di bundaran merupakan pintu masuknya.
Borobudur
Dua hari setelah pesta pernikahan, kami sekeluarga minus pengantin yang sedang berbulan madu, bersama saudara sepupu dari Jakarta dan dua anaknya berjalan-jalan ke Borobudur. Kangen juga beramah-tamah dengan candi peninggalan Budha ini. Saya terakhir kali ke sana di tahun 2005. Lima tahun lalu, sudah lama juga ya. Candi ini terletak di Magelang, Jawa Tengah. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km sebelah barat daya Semarang dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi ini didirikan para penganut Budha Mahayana sekitar tahun 800 Masehi pada masa pemerintahan Wangsa Syailendra.
Perjalanan menuju Magelang sebenarnya sangat melelahkan. Bukan saja karena harus berdesak-desakan dalam Avanza yang kami tumpangi, saya sedang tak berselera keliling. Tapi tak apalah, momen bersama keluarga seperti ini tidak biasa. Apalagi pertemuan dengan abang sepupu juga tidak bisa dilakukan setiap tahun. Abang sepupu ini termasuk teman baikku. Usia kami terpaut jauh. Sekitar 20 tahun mungkin. Tapi rasanya kami sangat klop. Kalau bertemu rasanya ketemu sahabat lama.
Ia asik menjadi sahabat. Tak kaku dan fleksibel. Ia temasuk abang sepupu ipar idolaku. Bukan saja persoalan karakternya yang menyenangkan, sifatnya yang baik, pengertian, tidak pelit, peduli pada keluarga, pekerjaannya yang bagus, ia layak menjadi panutan dalam banyak aspek (mudah-mudahan ia tak baca tulisan ini, kalau sampai ia baca, bisa mati terpuji dia).
Walau begitu bukan berarti ia tanpa cela juga. Sesekali aku juga sangat sebal padanya. Ia terkadang usilnya minta ampun. Seperti perjalanan kali ini. Aku jadi bulan-bulanan guyonannya. Tak habisnya aku digoda. Maklumlah dalam keluarga aku anak paling kecil. Dibandingkan dengan semua saudara sepupu dari mama, akulah termuda. Anak bawang.
Perjalanan ke candi Borobudur menjadi lebih bermakna karena kebersamaan keluarga ini.
Tentang candi borobudur, ia masih tetap berdiri kokoh. Terlihat sama dengan lima tahun lalu. Ada perbedaan mungkin di beberapa tempat. Apakah pohon yang tumbuh di sekitarnya, pergeseran atau beberapa bagian candi yang telah “hilang”. Rusak karena alam atau sengaja dihilangkan. Atau bisa jadi beberapa bagiannya sudah tidak asli lagi. Siapa tahu.
Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara. Artinya gunung (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa cerita asal usul katanya yang diyakini rakyat. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan “para Buddha” yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata “bara” dan “beduhur”. Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa sansekerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah “tinggi”, atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti “di atas”. Sebuah candi yang ada di tempat tinggi.
Candi ini memiliki 1460 relief dan 504 stupa Budha di kompleksnya. Bangunan ini masuk ke dalam daftar keajaiban dunia. World Wonder Heritages. Arsitekturnya memang memikat hati. Sayangnya panas matahari terlalu terik dan orang terlalu ramai berkunjung. Kepadatan orang yang mencapai ribuan itu membuat saya malas melangkah ke dalam kompleks. Tapi sayang rasanya sudah sampai tanpa mengulang pengalaman lima tahun silam. Membawa payung dan topi pelindung wajah kami bergerak merangkak naik menuju puncak. Kami berjalan bagai siput. Sangat lambat. Ribuan orang berusaha naik.
Setelah berjuang melawan arus orang yang demikian banyak kami sampai juga di puncak candi yang dibangun oleh Raja Samaratungga, salah satu raja kerajaan Mataram Kuno, keturunan Wangsa Syailendra ini. Bagian dasar Borobudur disebut Kamadhatu melambangkan manusia yang masih terikat nafsu. Empat tingkat di atasnya disebut Rupadhatu melambangkan manusia yang telah dapat membebaskan diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk. Pada tingkat tersebut, patung Budha diletakkan terbuka. Sementara, tiga tingkat di atasnya di mana Budha diletakkan dalam stupa berlubang-lubang disebut Arupadhatu, melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk. Bagian paling atas yang disebut Arupa melambangkan nirwana, tempat Budha bersemayam.
Setiap tingkatan memiliki relief-relief indah yang menunjukkan betapa mahir pembuatnya. Relief itu akan terbaca secara runtut bila anda berjalan searah jarum jam (arah kiri dari pintu masuk candi). Banyak kisah yang diceritakan di sana. Termasuk Ramayana. Dengan segala misterinya, borobudur memang menarik. Selain menikmati candinya, Anda juga bisa berkeliling ke desa-desa sekitar Borobudur, seperti Karanganyar dan Wanurejo, pusat kerajinan rakyat.
Kembali ke Medan via Jakarta
Kami “dijebak”. Setidaknya itu yang terjadi. Dijebak oleh abang sepupu untuk mampir dulu ke Jakarta sebelum kembali ke Medan. Meski hanya satu malam sekalipun. Karena sudah berjanji, tak mungkin kami mengingkari. Kamipun pulang ke Medan via Jakarta. Jumat malam kami berangkat dari Semarang menuju Jakarta. Tak bisa naik kereta karena sedang peakseason. Kami kehabisan tiket. Karena itu kami ke Jakarta menumpang mobil travel.
Perjalanan awalnya cukup nyaman hingga kemudian sampai pada sebuah insiden kecil. Tangisan anak kecil membahana yang tahan tidak berhenti hingga lima jam perjalanan. Oh my God! Ini perjalanan paling tidak menyenangkan. Tempat-tempat yang dilewati tak bisa lagi dinikmati. Niat awal untuk mencatat tiap detail dalam pikiran jadi buyar. Aku jadi hanya ingat beberapa. Hanya beberapa. Brebes dengan bawang etalasenya, kendal, kota kerupuk, entah apalagi. Aku tidak ingat. Kepalaku rasanya mau pecah mendengar tangisan bocah tersebut. Dasar menyebalkan. Menyebalkan sekali! Mau rasanya teriak! Marah, memaki-maki. Tapi saya tahankan. Sesekali terdengar saya menggerutu.
Melampiaskan kesal, saya kirimkan pesan singkat pada seorang teman.
“Sialan, gw tjbk di mbil ini.”
“Np lw?”
“Gw lg d jln otw jkt. Naek trvl. Da anaq2 nyblin. Nangis kras ga brenti2 dah 3 jam. Kyk ptir.Begh..”
“Ha3. Jitak aja palanya!”
Pengen sih njitak kepala anak itu. Tapi tidak sampai hati. Ibunya juga diam aja hanya membujuk-bujuk agar anaknya diam tak jelas.Mau marah pada ibunya, apa guna. Akhirnya, seperangkat alat sholat, eh bukan, seperangkat gadget pun keluar. Mengatasi bising dengan lagu-lagu menenangkan. Perjalanan kali itu memang sangat tidak menyenangkan.
Another summer day Has come and gone away In Paris and Rome
But I wanna go home Mmmmmmmm
May be surrounded by A million people I Still feel all alone
I just wanna go home Oh, I miss you, you know
And I’ve been keeping all the letters that I wrote to you Each one a line or two
“I’m fine baby, how are you?”
Well I would send them but I know that it’s just not enough
My words were cold and flat And you deserve more than that
Another aeroplane Another sunny place I’m lucky,
I know But I wanna go home Mmmm, I’ve got to go home
Let me go home I’m just too far from where you are I wanna come home
And I feel just like I’m living someone else’s life It’s like I just stepped outside
When everything was going right And I know just why you could not Come along with me
‘Cause this was not your dream But you always believed in me
Another winter day has come And gone away In even Paris and Rome And I wanna go home
Let me go home
And I’m surrounded by A million people I Still feel all alone
Oh, let me go home Oh, I miss you, you know
Let me go home I’ve had my run Baby, I’m done I gotta go home Let me go home
It will all be all right I’ll be home tonight I’m coming back home
Kali ini saya kangen pulang.
Untungnya pertemuan kami dengan anak tak menyenangkan itu segera berakhir, kami tiba di Jakarta pagi itu. Istirahat sebentar. Lalu abang sepupuku “gatal” mengajak jalan keliling Bogor.
Kamipun meluncur menuju Bogor. Tengah hari kami tiba di sana. Menikmati siomay, menghabiskan berpuluh-puluh pisang selama mengitarai Kebun Raya Bogor, bermalas-malasan, menikmati angin sepoi-sepoi, mengeksplorasi kebun raya, menikmati semua jenis tanaman, museum hewan, berfoto di depan istana Bogor, dan membuang-buang uang. Uang abang sepupu. Hehehe…
Kebun Raya Bogor adalah sebuah kebun botani besar yang terletak di Kota Bogor, Indonesia. Luasnya mencapai 87 hektar dan memiliki 15.000 jenis koleksi pohon dan tumbuhan.Di sekitarnya tersebar pusat-pusat keilmuan yaitu Herbarium Bogoriense, Museum Zoologi Bogor, dan PUSTAKA. Luas sekali. Sambil menggiring bola mainan, bersama ponakan kami berusaha menjajal keluasannya.Hasilnya kami kelelahan.
Kebun Raya Bogor pada mulanya merupakan bagian dari ’samida’ (hutan buatan atau taman buatan) yang paling tidak telah ada pada pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi, 1474-1513) dari Kerajaan Sunda, seperti tertulis dalam prasasti Batutulis. Hutan buatan itu ditujukan untuk keperluan menjaga kelestarian lingkungan sebagai tempat memelihara benih benih kayu yang langka. Di samping samida itu dibuat pula samida yang serupa di perbatasan Cianjur dengan Bogor (Hutan Ciung Wanara). Hutan ini kemudian dibiarkan setelah Kerajaan Sunda takluk dari Kesultanan Banten, hingga Gubernur Jenderal van der Capellen membangun rumah peristirahatan di salah satu sudutnya pada pertengahan abad ke-18.
Pada awal 1800-an Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles, yang mendiami Istana Bogor dan memiliki minat besar dalam botani, tertarik mengembangkan halaman Istana Bogor menjadi sebuah kebun yang cantik. Dengan bantuan para ahli botani, W. Kent, yang ikut membangun Kew Garden di London, Raffles menyulap halaman istana menjadi taman bergaya Inggris klasik. Inilah awal mula Kebun Raya Bogor dalam bentuknya sekarang.
Bogor secara keseluruhan adalah kota yang menarik. Entah di sudutnya yang lain. Saat malam, kami kembali ke Jakarta untuk istirahat dan terbang ke Medan keesokan harinya. Tidur malam itu sangat pulas. Bermimpi tentang ratu-ratu taman dan peri-peri penjaga bunga. Kolam yang penuh teratai dan udara yang jatuh dari serbuk dedaunan. Saya jatuh cinta pada pohon.
Komentar
Posting Komentar