Dingin
Kadang aku berpikir tentang bagaimana rasanya mengulang kembali rasa ketika engkau harus melepas orang yang kau sayang. Melepas tidak untuk sesaat. Tapi untuk sesuatu yang bernama keabadian.
Jujur, di satu sisi dari diri saya, sudah jenuh dengan itu. Bukan sekali dua, hati ini tersayat peristiwa menyakitkan yang datang atas nama kematian. Menyisakan lubang di dada.
Kejadian pertama aku nggak ingat betul. Tapi itu menyisakan luka bertahun-tahun. Abang tertuaku meniggal dunia saat aku masih kelas 5 SD. Waktu itu dia masih duduk di kelas 3 SMU dan akan segera mengikuti ujian akhir nasional. Tepat seminggu sebelum ujian,dia meninggal dunia.
Waktu itu aku belum terlalu paham dengan tangis dan luka. Padahal, dia abang terdekatku. Dia orang yang paling aku sayang. Ketika dia "mati" aku sedang bersekolah. Aku dijemput abangku yang satu lagi, beda dua tahun denganku, dia bilang, "Abang kita sudah mati." Aku berbenah, aku tak menangis, dan aku ikut pulang. Tapi aku tak ingat apa-apa sampai kemudian aku sadar sedang ada di rumah sakit. Aku opname. Kata dokter aku kena demam berdarah.
Sebulan lebih aku tak sekolah. Aku lemas.
Luka kedua, aku ingat betul. Itu di bulan Agustus 2001. Aku baru saja dua bulan duduk di bangku kelas 3 SMA. Bapakku mati. Ya... bapakku mati. Bapakku mati sodara-sodara. Dan luka itu menganga kembali,sampai aku lupa bagaimana rasanya sakit.
Orang yang paling kusayang, serta sempat jadi orang paling kubenci, dia pergi. Tak ada lagi tempat berlari untuk bermanja, tempat meletakkan kepala di dadanya ketika aku sangat bahagia menjadi juara kelas, tempat meletakkan kepala saat aku sedih, orang yang membelikan tas baru sebagai kejutan, orang yang membelikan sepatu saat sol sepatuku sudah aus, orang yang akan selalu berkata, "kamu kenapa anakku?" orang yang akan membelikan jam baru di hari ulang tahunku. Tak ada lagi. Dan aku... paham rasanya dingin.
Aku benar-benar mengerti rasa dingin di hati.
Bertahun-tahun, rasa itu kupendam. Menjadi kelu yang membeku hingga saat ada teman yang mengalami kejadian serupa, aku seolah tanpa reaksi. Dingin. Seolah itu bukan hal yang menyedihkan. Aku hampir lupa menangis dengan cara yang tengah mereka lakukan. Ya, aku memang telah lupa.
Tapi aku kembali diingatkan saat kepergian keponakan kecilku. Igo. Sedikit. Dan aku masih amnesia. Pun saat mama meninggalkanku. Aku benar-benar yatim piatu.
Aku masih amnesia. Tapi aku berubah jadi "gila". Tangisku adalah tangis seseguk tertahan. Tangis yang tumpah saat kesendirian. Tangis yang tumpah di tengah malam. Aku susah tidur. Orang pikir aku tak butuh tisu. Tak ada yang tahu, aku selalu menyimpan sapu tangan di saku.
Hatiku dingin. Pikiranku dingin. Dan aku, berusaha untuk tidak lupa agar bisa berempati.
Hari ini, saat aku menuliskan ini, sebuah SMS mengggah kesadaranku. lagi-lagi aku terpukul. Dalam isak yang semakin dalam dan tertahan. Entahlah. Ibu, mertua kakak perempuanku, perempuan yang kami panggil ibu, dan kuharapkan pengganti mama, perempuan yang kukenal di pernikahan kakakku, dia juga kembali pada Tuhan. Apa Tuhan salah? Enggak, Tuhan enggak salah. Tapi aku yang belum siap. Aku sesenguk. Menahan bening yang mau tumpah di kelopak mata.
Aku histeris di telepon. Aneh, bukannya melipur abang ipar dan kakak, akulah yang ditenangkan. Aku ingin berhenti dengan rasa dingin ini. Hari ini aku kembali terluka. Bagaimana caranya membenahi hari dan menutup lubang di dada ini?
Jujur, di satu sisi dari diri saya, sudah jenuh dengan itu. Bukan sekali dua, hati ini tersayat peristiwa menyakitkan yang datang atas nama kematian. Menyisakan lubang di dada.
Kejadian pertama aku nggak ingat betul. Tapi itu menyisakan luka bertahun-tahun. Abang tertuaku meniggal dunia saat aku masih kelas 5 SD. Waktu itu dia masih duduk di kelas 3 SMU dan akan segera mengikuti ujian akhir nasional. Tepat seminggu sebelum ujian,dia meninggal dunia.
Waktu itu aku belum terlalu paham dengan tangis dan luka. Padahal, dia abang terdekatku. Dia orang yang paling aku sayang. Ketika dia "mati" aku sedang bersekolah. Aku dijemput abangku yang satu lagi, beda dua tahun denganku, dia bilang, "Abang kita sudah mati." Aku berbenah, aku tak menangis, dan aku ikut pulang. Tapi aku tak ingat apa-apa sampai kemudian aku sadar sedang ada di rumah sakit. Aku opname. Kata dokter aku kena demam berdarah.
Sebulan lebih aku tak sekolah. Aku lemas.
Luka kedua, aku ingat betul. Itu di bulan Agustus 2001. Aku baru saja dua bulan duduk di bangku kelas 3 SMA. Bapakku mati. Ya... bapakku mati. Bapakku mati sodara-sodara. Dan luka itu menganga kembali,sampai aku lupa bagaimana rasanya sakit.
Orang yang paling kusayang, serta sempat jadi orang paling kubenci, dia pergi. Tak ada lagi tempat berlari untuk bermanja, tempat meletakkan kepala di dadanya ketika aku sangat bahagia menjadi juara kelas, tempat meletakkan kepala saat aku sedih, orang yang membelikan tas baru sebagai kejutan, orang yang membelikan sepatu saat sol sepatuku sudah aus, orang yang akan selalu berkata, "kamu kenapa anakku?" orang yang akan membelikan jam baru di hari ulang tahunku. Tak ada lagi. Dan aku... paham rasanya dingin.
Aku benar-benar mengerti rasa dingin di hati.
Bertahun-tahun, rasa itu kupendam. Menjadi kelu yang membeku hingga saat ada teman yang mengalami kejadian serupa, aku seolah tanpa reaksi. Dingin. Seolah itu bukan hal yang menyedihkan. Aku hampir lupa menangis dengan cara yang tengah mereka lakukan. Ya, aku memang telah lupa.
Tapi aku kembali diingatkan saat kepergian keponakan kecilku. Igo. Sedikit. Dan aku masih amnesia. Pun saat mama meninggalkanku. Aku benar-benar yatim piatu.
Aku masih amnesia. Tapi aku berubah jadi "gila". Tangisku adalah tangis seseguk tertahan. Tangis yang tumpah saat kesendirian. Tangis yang tumpah di tengah malam. Aku susah tidur. Orang pikir aku tak butuh tisu. Tak ada yang tahu, aku selalu menyimpan sapu tangan di saku.
Hatiku dingin. Pikiranku dingin. Dan aku, berusaha untuk tidak lupa agar bisa berempati.
Hari ini, saat aku menuliskan ini, sebuah SMS mengggah kesadaranku. lagi-lagi aku terpukul. Dalam isak yang semakin dalam dan tertahan. Entahlah. Ibu, mertua kakak perempuanku, perempuan yang kami panggil ibu, dan kuharapkan pengganti mama, perempuan yang kukenal di pernikahan kakakku, dia juga kembali pada Tuhan. Apa Tuhan salah? Enggak, Tuhan enggak salah. Tapi aku yang belum siap. Aku sesenguk. Menahan bening yang mau tumpah di kelopak mata.
Aku histeris di telepon. Aneh, bukannya melipur abang ipar dan kakak, akulah yang ditenangkan. Aku ingin berhenti dengan rasa dingin ini. Hari ini aku kembali terluka. Bagaimana caranya membenahi hari dan menutup lubang di dada ini?
Komentar
Posting Komentar