Surat Cinta untuk Malaikat Kecil di Suatu Pagi
1 November 2010
Sebuah catatan usang di
jejaring social facebook
Malaikat Kecil di Suatu Pagi
Banyak pertemuan yang terjadi. Entah itu berarti atau tidak sama
sekali. Mungkin sekadar mewarnai hidup tanpa mempengaruhi hari esok atau lusa.
Seperti pertemuanku hari ini.
Hari ini luar biasa indah. Walaupun di luar hujan turun deras,
membuat langit gelap dan cuaca tak bersahabat. Melihat cuaca, mungkin harusnya
aku tak menganggap hari ini indah.
Tapi kali ini lain. Perasaanku penuh. Anak itu begitu manis.
Gio, itu namanya. Aku tahu karena berkali-kali ia menyebut namanya, dan
berkali-kali pula lelaki tampan yang datang bersamanya memanggil namanya.
Lelaki tampan itu memanggilnya abang Gio. Anak manis. Tapi ia memintaku
memanggilnya Kiki. Jadi kupanggil ia Kiki.
Akankah kami bertemu lagi? Dan... jika suatu waktu entah kapan
itu, apakah kami masih saling mengenal? Hitungan menit yang tak lebih dari jari
satu tangan. 3 menit itu kami bercerita. Ia bertanya aku sedang apa, apa yang
sedang aku minum, kenapa kopi warnanya pekat, apa kopi terbuat dari serangga
semacam kecoa? Aku tertawa. Kalau dari kecoa tentu aku tak mau minum. Itu
menjijikkan. Bukankah kecoa itu menjijikkan kataku. “Tidak tante, kecoa itu
lucu,” jawabnya jenaka.
Tapi ia harus segera pergi, tak lama setelah pesanan kakak
lelakinya, oh tidak, mungkin saja papanya, mungkin juga omnya, sudah selesai. Kiki
masih menempel di bangku di dekatku. Melihat apa yang kutulis saat lelaki itu
memanggil namanya, “Gio, ayo... pulang. Maaf Mbak, dia mengganggu ya?” katanya
sambil menarik Kiki. Aku hanya tersenyum menjawab tak apa dan melanjutkan
menulis. Kiki pulang dan melambaikan tangan berkali-kali.
Ketika lelaki tampan yang bersamanya menuntun tangannya keluar
dari gerai fast food itu, dalam jarak 3 meter dari tempat dudukku, ia
membalikkan badan. Wajah imutnya tersenyum, suara cemprengnya berusaha memberi
sapaan terakhir. “Halo...” katanya sambil melambaikan tangan. “Kok halo,”
kataku pelan sambil membalas lambaian tangannya. Apa itu punya makna lain.
Insting anak kecil. Mungkin ini awal saja. Mungkin di lain waktu entah kapan
kami akan berpapasan. Lagi.
Aku menatapnya, memberikan senyuman termanis pagi itu. Hatiku
penuh. Lagi ia tersenyum, melambaikan tangan sekali lagi. Matanya
begitu indah. Bahkan saat pintu kaca terbuka membawa tubuh kecilnya menjauh,
dari balik pintu sekali lagi ia menoleh ke belakang. Memberiku lagi sebuah
senyuman. Kulambaikan tangan. “Halo,” kataku dalam hati.
Lelaki tampan yang bersamanya kulihat merasa sangat sungkan.
Ditariknya Kiki. Aku tahu aku terlalu berpikir banyak. Kiki pergi. Orang yang
kutunggu tak juga datang. Untung ada Kiki. 3 senyumannya di pagi ini membuatku
bahagia. Tuhan memberkatimu malaikat kecil. Entah kita akan bertemu atau tidak,
sekali ini sosokmu menyihirku. Kau sudah lekat dalam kenangan. Aku menyimpannya
di sini, di hatiku. Mesti sekali pertemuan kita, di gerai fast food yang juga
kali pertama aku duduk manis di sini.
Sepertinya aku juga harus berterima kasih pada hujan. Hujan yang
membawa malaikat kecil itu. Satu alasan lagi kenapa aku tak bisa membenci
hujan. Aku ingin mandi hujan. Memberi ragaku pada anugerah dari langit.
4 Februari 2015
Dear Kiki,
Terima kasih untuk
membuatku tak berhenti mencintai hujan, tak berhenti tak curiga dengan
percakapan bersama orang asing, mengajariku tentang percaya,
tentang bahagia kecil, tentang senyum yang ramah, tentang percaya kepada hari esok. Terima kasih membuat mengerti meskipun masa depan ada di balik tikungan, sebuah 'halo' yang bahagia selalu ada di sana. Terima kasih sudah bertemu. :*
Komentar
Posting Komentar